Senin, 07 Januari 2019

Lirik Dersana - Lima Sembilan

Standard
Usai usia bermandi darah
dan keringat yang berjatuhan ke bumi
dipasak sebidang tanah
semangat berpaksi lima sembilan
dan roh-roh pun bersaksi
kalimah setia percaya
singgahsana dijunjung adilnya
hukum didaulatkan pada neraca
santun sopan berkembang jiwa.

Pasak-pasak bersembilan;
diikat amanah pada dasarnya
ditanggam jujur pada dadanya
bertekad emas adat budaya menghiasi
warna warni perpaduan melatari
tiang seri diserapah cinta teguh
seinci bumi berdaulat dipertahan
tauhid yang esa berpaling tidak
murni nilai didakap mesra.

Lima sembilan adalah pengertian
pengorbanan dan perjuangan
sebuah rumah merdeka.

30 ogos 2016
Glenmarie
Hak Cipta Terpelihara © Rosman Md Shah

Minggu, 16 Oktober 2016

Sholat Istikharah: Branding Keimanankah atau Solusi Kebimbangan?

Standard
Menghidupkan yang Menghidupi...
Kini!


Akhir-akhir ini, saya lebih banyak mengurung diri dalam kamar (teman); menenangkan diri, menjauh dari pikuk keramaian. Bukannya sudah bosan bergaul. Bagiku malah sering-sering bergaul atau bersosial adalah sebuah keharusan. Bergaul sangat baik untuk memperluas jaringan pertemanan. Luasnya pertemanan, menentukan luasnya potensi asupan informasi dan pengetahuan. Namun, ada sebuah peristiwa dimana saya harus memutuskan sebuah hal penting yang akan berpengaruh bagi perjalanan hidup saya. Dan keputusan tersebut harus kutentukan dalam bulan ini. Tak mungkin saya bisa memutuskan sebuah hal secara matang jika saya berada di tengah keramaian yang bising.

Masa pengurungan diri ini kujalani sudah sekitar dua mingguan. Namun, saya tetap membuka diri dengan dunia luar melalui internet. Sembari menikmati kopi dan mengunyah musik musik rock alternatif. Sesekali juga membaca buku biografi dan puisi. Selain itu, dalam masa penenangan ini, saya jadi berfikir untuk mencoba melakukan sholat istikharah. Meminta petunjuk padaNya, agar kali ini saya tak salah mengambil keputusan. Karena jujur saja, selama ini, pilihan pilihan hidup yang kuambil hanya berdasar dari penghayaan, perenungan, dan akal sehat. Entahlah... apa karena lupa diri untuk meminta petunjuk Sang Yang Wenang yang membuat banyak langkahku terpleset, atau proses refleksi dan akal sehatku yang bermasalah.

Kumulailah mengkaji apa, bagaimana sebenarnya sholat istikhoroh itu. Ups... Dasar hamba amatiran. Di umur segini baru mencari. Tapi bodo amat. Ketimbang seolah-olah taat, mending jujur.
Ditengah-tengah pengkajian tentang sholat istikharah, tiba-tiba sebuah suara tv masuk dalam ruang semedi saya. Dan suara siaran ulang tv itu adalah suara dari salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta yang mengatakan ia terjun di perhelatan Pilgub setelah melakukan sholat istikharah. Teralilah perhatian saya pada penyataan tersebut. Saya kemudian membuka tombol new tab dan melihatnya di youtube. Daridulu malas lihat tv soalnya. Dan apa yang saya dapat? Ternyata hampir semua kandidat (terkecuali Ahok yang karena Kristen tapi juga sering bawa bawa Agama Islam) mengatakan langkahnya maju setelah melalui sholat istikharah. Wow !!!

Saya kemudian berfikir, ini mereka mereka sedang memperdagangkan Tuhankah? Ini mereka sedang membranding diri sebagai hamba yang beriman, atau memang itu pernyataan yang tulus? Ah, agak sulit sih menilai ketulusan. Tapi sholat istikharah itu kan suatu proses dimana manusia meminta petunjukNya dalam bimbang untuk memutuskan sebuah hal yang genting. Lantas prosesi pencalonan itu kan di detik-detik akhir pendaftaran calon. Masa secepat itu mereka diberi petunjuk? Jikalah semua kandidat itu benar benar diberi petunjuk untuk maju, artinya skenario dan konstelasi politik DKI Jakarta hari ini merupakan campur tangan Tuhan? Ohw... no men! Bukankah hampir jelas terlihat siapa dalang dalang dalang dari ketiga kandidat tersebut?

Lalu kemudian saya kembali berfikir lagi. Kok hampir tidak ada yah politisi yang menolak berkontestasi dengan pertanyaan seperti ini : "Setelah saya melakukan sholat istikharah... saya merasa diberi petunjuk untuk tidak ikut dalam pertarungan politik ini". Mengapa tak ada demikian? Hmmm... Sudah ah. Politik memang adalah humor yang paling tidak lucu. Politik kita hari ini adalah tontonan yang hampir selalu menciderai akal sehat penontotonnya.

Ah, dasar TV. Selalunya mengganngu. Lagian tak ada juga relevansi masalah yang sedang saya hadapi dengan istikharah politisi yang saya amati. Cukuplah peralihannya. Lagian apaan juga sih. Saya ini disatu sisi mengkritisi tapi disaat yang sama menulis tentang niatan akan sholat istikharah. Artinya saya sama saja seperti mereka yang membranding diri agar nampak beriman. Ini memang hanyalah tulisan pencitraan. Tapi menulis bagiku adalah terapi diri. Jujur saja ini bagian dari branding diri. Soalnya saya tak punya bahan tulisan.

Riqar Sampah! :D

Minggu, 25 September 2016

Sajak-Sajak Saat Bersama Mamah di Surabaya

Standard


Menemuinya


Hampir 2 tahun air rindu dalam gelas temu tak dapat ku minum
Walau sangat kehausan, jarak hadir menggagalkan dahaga

Dalam waktu beberapa saat lagi, haus akan usai
Akan kutuang bergelas gelas air pengusai rindu
Sebab ia, adalah zam zam batinku; yang menyusuiku sewaktu kecil, menyayangiku hingga akhir hayat, letak ketentraman jiwaku berpundak

Malang, 16 Desember 2016

Menamatkan Rindu

Entah pada lari kemana semua beban hidup
Yang sebelumnya melinggis pikiran, kini terlinggis oleh getaran hatinya

Berada di dekatnya, aku selalu seperti ini
Merasa besok pasti baik
Besok semua impi pasti tergapai
Besok, ia pasti aman dan bahagia karena memiliki anak sepertiku

Hari ini sudah besok. Keesokan yang seperti pasti belum terjadi
Tapi seakan telah terjadi
Eh... ada dia di sini... pantas :)
Surabaya, 17 desember 2016

Mendekapnya

Setemunya, aku menyalam, mengecup tangan, lalu keningnya
Rindu akhirnya tamat
Kututup dengan peluk

Gebah diri ke kasur
Peluk yang sempat kulepas tadi, kulanjutkan
Percakapan anak dan mamah berhelat di kasur

Pagi buta datang, aku dibangunkannya
'Tiada suara adzan dalam ruangan ini, bangun dirikan sholat'

Didekatnya, sama hal mendekat Tuhan
Ya, Mamah kuyakini sebagai utusan Tuhan yang tak bisa kutolak perintah baiknya

Sayang... harusnya kamu ada di sini
Bukan sekadar sebagai saksi romantisme anak mamah
Melainkan agar turut menyelam dalam kolam energi positif ini

Dalam tembok palsu Shangrila, 18 september 2016

Derita dalam Gembira

Aku tak menahu perihal kabar derita itu
Semua 'kita' tak menyangka, semua 'kita' tiada ingin, sebab itu bukan 'kami'

Ternyata, malam tadi semua meraya dalam selimut laku yang menduka

Alhamdulillahnya, Mamah yang tadinya 'mogok' makan, jadi lahap malam tadi
Entah sebab anak bungsunya yang tak henti bernasehat, atau hidangan pesta yang begitu lezat di iringin harmoni orkestra
Entahlah...
'Pesta hanya sekali, tak ada pesta di atas pesta' itulah prinsip yang telah mengistiadat
Pilihan tentu ditangan empunya
Namun efek pilihan, bisa menelan korban yang tak turut memilih
Siapa merela yang tersayang 'pergi' sebelum waktunya?
Harusnya kau paham maksudku
Masih ada waktu mengembalikan 'cemara'

Dalam selimut kamar Shangrila, 19 September 2016

Amarah Anak Kecil

Aku tak akan melawan lewat fisik
Itu bukan caraku, juga bukan cara 'beliau'

Hingga saat ini, tak ada penyebab derita yang tak kulawan
Aku menyayangi 'kita' semua
Untuk itulah aku melawan dengan 'menolak'

Segenap ini... aku akan menjadi tuli... sangat tuli
Hingga kabar baik balik mendatangi
Tanpamu, aku bisa mengusaikan laparku

Sidoarjo, 19 Desember 2016

Kembali Menghaus Rindu


Episode rindu kembali berlanjut
Dekapan, kecupan, nasehat dan pelukan menjadi bingkisan perpisahan
Tentunya bingkisan itu tak ternilai rupiah, sebab ia menyelimuti jiwa- memperkaya kenangan manis

Bekal itu menaikkan semangatku hingga 27 kali lipat
Kamus malas harus segera terhapus
Hadangan harus jauh kulompati
Yang memperlambat harus kutinggalkan

Aku ingin dia bahagia
Bukan karena telapaknya adalah letak surga
Melainkan cinta dan kebahagiaan harus menghari-hari

Perjalanan ke Malang, 20 September 2016

Jumat, 02 September 2016

Harusnya Kau Tau Itu...

Standard


Apa penanda sepiku? pergimu
Apa penerang dukaku? kehilanganmu
Apa yang menghantui malamku? bayangmu

Ya... harusnya kau tau itu

Kau
adalah
Pergi yang tak kunjung pulang
Datang yang tak pernah menetap
Tamu yang selalu menolak hidangan terbaik dari dapur hatiku


Malang, 02-09-2016

Kamis, 05 Mei 2016

Mawar Plastik

Standard
Kupikir, mawar yang kutanam kemarin sore akan merona saat musim semi.
Duga sangkaku ternyata salah. Aku tertipu oleh kemasannya.
Telisik demi telisik, ia bukanlah mawar; melainkan bangkai yang terbungkus parfum kepalsuan.
Pantas tak ada kumbang arif yang mendekap di punggung pucuknya.

Sekali sore ini aku memilih menghabiskan kopi bersama daun surga yang dicitrakan sebagai hama dunia.
Sembari menatap senja dan coba mencabut akar kesesatan karena pernah merawatnya.

Malang, 5 Mei 2016.

Rabu, 16 Maret 2016

Tumpul Ingatan (1)

Standard
Ponakanku
(jangan ikuti jejak om mu ini)

Sebulan belakangan ini, saya kebanyakan berpindah-pindah tempat nginap, dari satu rumah ke rumah dan kontrakan ke kontrakan teman yang lain. Walau saya sebenarnya memiliki kost sendiri. Alasannya, selain karena beberapa garapan kreatif yang mengharuskan saya seperti ini, saya juga sedang ingin menyerap banyak energi positif dari teman-teman baik saya. Karena dalam waktu beberapa bulan kedepan, saya beserta sahabat akan mengemukakan sebuah karya, dimana ada banyak konsekuensi yang harus kami terima ketika saat itu terjadi. Seperti tak mendapat penghargaan publik, dibilangin gak mutu dan lain sebagainya. Dan hal tersebut kami prediksi akan membutuhkan mental yang cukup kuat dan energi yang lumayan banyak.

Karena hidup nomaden, saya selalu membawa tas kecil yang isinya tidak lain adalah alat mandi, buku, catatan harian, pulpen dan beberapa lembaran penting lainnya. Dalam kondisi seperti ini, kadang saya merasa ramai, kadang pula saya merasa seperti orang yang terasing. Tapi memang kondisi dinamis seperti ini yang saya inginkan untuk menghardik datangnya energi negatif.

Saya jadi banyak ruang untuk berkontemplasi ditengah tidur lelap teman saya. Barusan, setelah makan malam, saya jadi mengenang masa kecil. Saya jadi merasa seperti ada banyak hal yang telah hilang dari saya. Saat masa kecil, rasanya saya cukup lihai dalam menghapal dan lentur dalam olah badan. Semisal ketika sebelum masuk TK, saya tergolong anak kecil yang disukai oleh keluarga. Karena hampir semua pejabat publik seperti nama-nama menteri saya hapal. Ini tidak lain karena didikan bapak saya yang saat itu masih menjadi politisi. Namun saat masuk TK dan SD, menghapal nama-nama menteri dan mengikuti perkembangan politik menjadi hal yang tidak menarik lagi bagiku. Hingga hapalan tersebut sirnah. Dan saat itu saya seketika berubah menjadi anak kecil yang nakal dan malas belajar. Sepakbola dan berkelahi adalah hal yang menarik perhatianku. Saya mengira hal tersebut terjadi karena waktu itu intensitas saya dengan bapak menjadi kurang.

Menjelang akhir SD, perhatian saya kembali berubah. Karena dulunya suka berkelahi, saya mengikuti latihan karate. Mumpung saat itu, simpae (Guru) karate di sekolah saya adalah Kakak Kandung saya. Saking seriusnya, saya tidak hanya latihan di satu tempat. Saat itu LEMKARI memiliki beberapa cabang di Kota Kendari, salah satunya di SD saya, tapi saya juga aktif latihan di LEMKARI Pusat. Karena yang saya pikirkan adalah bagaimana mendapat lawan sparing sebanyak-banyaknya.

Oh, iya. Menjelang ikut karate, saya waktu itu juga aktif mengaji di Mesjid Nurul Iman dekat rumah. Saya tergolong santri yang tidak buruk. Karena saya sempat wisuda. Untuk wisuda di tempat ngaji tersebut, para santri harus menghapal puluhan ayat pendek, bacaan sholat, doa-doa harian dan sebagainya. Prestasi lain di bidang keagamaan, saya pernah juara 3 lomba ngaji dan juga sering mendapat panggilan ketika ada lomba baca Qur'an, nyanyi-nyanyi lagu religi di SD dan Pramuka. Dalam sepak bola, saya juga tak jarang membawa pulang piala ketika mengikuti turnamen. Dan karena tak berfikir tentang menghargai usaha, sempat saat itu 1 piala saya jual seharga 10 Ribu Rupiah untuk jajan.

Menjelang SMP, saya sempat mengikuti kursus Bahasa Inggris. Dan saat itu bahasa inggris saya cukup baik. Hampir semua materi kursus saya kuasai. Saya juga ikut kursus komputer, hingga akhirnya dari saat itu saya menjadi juru ketik bagi Mamah dan Bapak.

Ini bukan tulisan narsis. Saya hanya lagi ingin menumpahkan beberapa kenangan masa kecil. Karena bagaimanapun ingatan itu ada batasnya. Sebelum semuanya hilang, ada baiknya saya abadikan dalam blog ini.

Masuk SMP, bukan hanya hapalan nama-nama politisi dan ilmu agama yang hilang dari lekat ingatan. Saya juga menjadi kaku untuk berkelahi dan main sepak bola. Hingga suatu ketika, saya pernah kalah berkelahi dengan cewek saat SMP, dan tak lolos seleksi untuk masuk dalam skuad tim sepakbola SMP. Mental saya waktu itu seperti ciut drastis. Apalagi bicara soal keagamaan, mulai dari hapalan sholat, surat pendek seperti terpenggal, lidah jadi kaku saat ngaji. Saat SMP, saya malah lebih senang dengar musik. Dan saya ingin jadi musisi. Sewaktu masuk kelas dua, karena kegilaan dengan musik, saya membentuk band bersama teman sekolah. Nah, dari situ semua hal-hal baik diatas seperti pergi menjauhiku. Dan di masa inilah saya mulai berkenalan dengan dunia hitam. Mulai aktif merokok (awalnya saat SD), mulai mengenal diskotik, dan hal lain yang kurang enak untuk saya sebutkan. Dalam masa ini saya sangat jarang di rumah. Saya jadi sering nginap di rumah teman, banyak latihan dan menyicip panggung. Eh, tapi dalam masa ini juga saya sempat beberapa bulan disuruh ngaji di rumah Imam Besar Nurul Iman oleh Mamah. Kemungkinan waktu itu insting Mamah berjalan melihat kebiasaan saya yang berubah. Makanya disuruh ngaji. Dan jika Mamah beri intruksi, saya sangat tak bisa menolak. Selain karena rasa sayang pada Mamah, beliau juga hampir selalu menuruti setiap perminttanku. Seperti membeli senar bass, fasilitas dalam kamar dan lain sebagainya. Tapi setelah beberapa bulan ngaji saya kembali bermusik dan happy happy bersama kawan-kawan.

Masuk SMA, saya jadi terlarut dengan musik, fashion dan gaya hidup kaum hippies. Ilmu Agama, Bahasa Inggris, Teknik Karate, Sepak Bola semua sirnah. Untuk menjaga kebugaran fisik, saya hanya sesekali berlari. Karena gaya hidup dilingkungan saya gemar lari pagi. SMA... Ah, malas banyak cerita. Terlalu banyak kenangan hitam di dalamnya. Intinya di masa inilah yang membuat semua hal positif di atas menutup pintu untuk kembali pada lekat ingatan. Sungguh saya sangat ingin mengembalikan itu semua. Tapi apa bisa?

Andaikata waktu itu saya bisa bermusik dan bergaul dengan ingatan-ingatan yang tetap melekat, kemungkinan pondasi hidup saya hari ini menjadi kokoh. Dan saya bisa berbicara dalam banyak dimensi. Sayang semua hilang.

Menyesal sih iya. Tapi apa yang lebih indah dari bangkit atas keterpurukan? Saya senang sadar dan cukup paham dengan perjalanan hidup saya. Yang bisa dipetik dari perjalanan hidup ini adalah hal-hal positif itu bisa tumbuh dan mengakar dalam ingatan ketika kita konsisten dalam melatihnya.

Cholil Efek Rumah Kaca bersama istrinya dalam duonya di Indie Art Wedding berkata dalam lagunya yang berjudul Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang: "Hey, taukah kau bahwa hidup itu berat. Mengapa kau tak mencoba berkesenian saja. Karena seni membuat terasa mudah, Karena seni membuat terasa indah, Karena seni membuat terasa asik." Hari ini saya kembali bermusik, namun saya juga telah meninggalkan bahkan jijik dengan dunia hitam, kecuali merokok (walau bagi saya hari ini merokok bukanlah merupakan hal negatif). Dan semoga dengan kembali berkesenian, semua hal-hal positif dalam masa kecil itu bisa kembali dalam rimba ingatanku. Pun tidak, setidaknya hidup ini menjadi terasa mudah, indah, dan asik.

Dari hasil renungan ini, saya jadi merasa bahwa seperti itulah mungkin konsep karma. Saya agak sepakat dengan karma menurut wikipedia, "karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan kelahiran kembali (reinkarnasi)". Ya, saya merasa seperti lahir kembali. Tidak seperti pengertian karma yang sering dimitoskan oleh orang umum. Misalkan kalau kita menabrak kucing saat berkendara, baik tidak disengaja, kita harus langsung menguburnya memakai baju kaos yang kita kenakan. Jika tidak, kita bisa celaka saat berkendara. Pertanyaannya, bagaimana semisal ketika kejadian itu terjadi, saat bersamaan kita harus sampai pada satu tujuan secara on time, dimana tujuan tersebut menentukan masa depan kita? Dan kalau telat, taruhannya adalah masa depan? Semisal ujian final skripsi dan sebagainya? Lagian, apakah roh kucing itu seperti kuntilanak dalam film-film sampah yang dapat menghantui kita tiap saat?


Karma bagiku adalah ketika kita mengalihkan suatu perhatian pada perhatian lain. Dimana dalam proses pengalihan perhatian tersebut kita melupakan perhatian sebelumnya. Semisal ketika kita belajar ilmu agama, dan ketika hal tersebut kita tinggalkan maka karmanya adalah kehilangan ilmu agama. Karma juga bagiku bagaikan otot binaragawan; ketika otot aktif dilatih, maka kemampuannya akan bertambah dan semakin berpotensi untuk mengangkat beban berat, namun ketika latihan dan pola makan tak dijaga, maka karmanya adalah otot kemudian menjadi lentur.

Dan rasanya, saya harus menemukan formulasi agar dalam tiap fase peralihan perhatian saya pada satu bidang tertentu tidak meninggalkan ingatan tentang bidang sebelumnya.

Sebelum menyudahi, saya juga agak curiga, jangan-jangan, hasil renungan ini bagian dari ingatan? Dan ingatan tekstual mungkin hilang, namun ada hal yang kontekstual yang masih melekat. Dan kemungkinan ada baiknya memahami ketimbang menghapal?


Entahlah...


(mungkin akan) Bersambung

Jumat, 19 Februari 2016

Kembali Menempa Diri

Standard
Akhir-akhir ini saya seperti agak kesulitan untuk menulis catatan lepas dan beberapa rubrik di blog ini. Tak seperti pada masa produktifku ngeblog di tahun 2012-2014 kemarin. Entah apa yang sedang menimpaku. Padahal sangat banyak hal positif yang ingin kuceritakan.

Kemungkinan, salah satu pengaruh dari kebuntuan ini adalah cukup tersitanya waktu saya di lintas sosial media. Jika dulu saya hanya aktif di Facebook, Twitter, dan Youtube, kini; Line, Soundcloud, Path, Instagram, dan WA banyak menyita perhatianku. Tak ada yang salah sebenarnya dari hal ini. Karena saya juga mendapat cukup banyak informasi positif dari aktifitas di lintas sosial media tersebut.

Atau, sepertinya saya belum cukup bisa mengendalikan diri dalam berselancar di banyak sosial media. Tak aktif di sosial media yang lagi in saya takutnya ketinggalan informasi, aktif pun saya harus bertaruh waktu. Ah, bingung. Yang jelas saya merasa tak ingin ketinggalan trend. Zaman berkembang, saya juga harus berkembang.

Sepertinya sudah waktunya saya kembali menempa diri dan menaikkan kualitas. Kembali ke ruang semedi untuk membaca banyak buku, diskusi lintas ilmu dengan banyak orang, melakukan banyak perenungan, dan latihan menulis. Karena setelah membaca ulang postingan di blog ini, rasanya saya stagnan disitu-situ saja dalam menulis.

Project kreatif tahun ini sungguh menumpuk. Saya ingin mengerjakan sesuatu tanpa meninggalkan kebiasaan positif lainnya. Semoga saya tak lambat sadar dan tetap waras dalam dunia yang bising ini.

Jumat, 29 Januari 2016

Senin, 25 Januari 2016

Pesona Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara

Standard
Saat memulai perjalanan

Saat liburan semester genap kemarin, akhirnya kubumikan salah satu mimpiku di bulan Juli 2014; memuncaki Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara. Alhasil, dengan bantuan PETA, GPS dan arahan dari teman-teman MAPALA Kendari, Aku beserta 3 teman berhasil memuncak setelah 7 hari perjalanan melewati banyak rintangan.

Gunung Mekongga adalah gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara dengan ketinggian 2.620 mdpl. Jika dibandingkan dengan gunung-gunung di pulau Jawa, dalam hal ketinggian Mekongga mungkin tak seberapa. Misalkan kita bandingkan dengan Gunung Semeru yang mencapai 3.676 mpdl.

Namun, ketika memuncaki gunung Semeru, pendakian diawali dari basecamp awal Ranupane, dengan ketinggian 2100 mdpl. Artinya, kita hanya mendaki 2.660 mdpl saja. Beda halnya dengan Gunung Mekongga. Perjalanan dimulai dari 1-17 mdpl. Basecamp awal berada di desa Tinukari. Dan desa tersebut hanyalah satu-satunya desa terdekat dari Gunung Mekongga. Bila ditotal, perbedaan pendakian Mekongga dan Semeru hanya berkisar 40-47 mdpl.

Keindahan dari Puncak Gunung Mekongga
Mari Berkenalan dengan Gunung Mekongga
Gunung Mekongga masuk dalam jajaran pegunungan Verbeck, dimana puncak tertingginya terdiri dari jenis batuan karst dataran tinggi. Puncak tertinggi Gunung Mekongga disebut Mosero-Sero oleh penduduk sekitar.

Wikipedia menyebutkan, secara geologis, wilayah pegunungan ini terbentuk dari atol yang terangkat sekitar ratusan juta tahun lalu. Fenomena ini memberi ruang bagi jenis flora dan fauna menjadi biota endemic yang hanya terdapat di wilayah ini.

Saat perjalanan, aku memang banyak menemukan tumbuhan aneh yang tak kuketahui jenisnya. Ribuan burung-burung yang tak pernah kulihat sebelumnya juga sangat banyak disana. Sangat sering burung-burung tersebut mengeluarkan kicua merdu yang harmonis diserap telinga. Kicau burung satu keburung yang lain seakan membentuk suatu nada dan menghasilkan instrument indah. Hal tersebut setia mengiringi langkah demi langkah kami dipagi hingga sore hari saat pendakian. Lelah terhapus atas decak kagum pada fenomena tersebut.

Dari cerita rakyat disana, Mekongga berasal dari kata Kongga, yaitu seekor burung raksasa. Suatu ketika, laku burung raksasa tersebut meresahkan penduduk sekitar karena ulahnya yang sering buat onar dan mengganggu kehidupan rakyat, utamanya saat mereka bertani. Lalu, muncullah seorang kesatria untuk melawan burung tersebut, dan sang ksatria/bangsawan berhasil menewaskan burung tersebut. Sebagai hadiah atas keberhasilannya, raja setempat menikahkan putrinya dengan si bangsawan. Dan untuk mengenang jasa/tragedy itu, kawasan tersebut diberilah nama Gunung Mekongga.

Peta Gunung Mekongga

Senja di pertengahan puncak
Lolos Administrasi
Aku memulai perjalanan dari basecamp awal di desa Tinukari. Bersama kawan, kami difasilitasi rumah pribadi milik Kepala Desa untuk beristirahat juga sambil berbincang-bincang dengan Pak Kades. Beliau menuturkan banyak hal, baik seputar mitos maupun temuan-temuan ilmiah yang ada di Gunung Mekongga.

Karena aku tak membawa surat izin, diakhir pembicaraan, kucoba komunikasikan perihal itu pada Pak Kades. Beliau yang tau aku beserta kawan jauh-jauh datang dari pulau jawa akhirnya berbaik hati memberi toleransi untuk melakukan pendakian walau tanpa kelengkapan syarat administrasi. Dengan catatan, seluruh carrier yang kami bawa harus disembunyikan pada suatu tempat. Tak tau aku maksud dari hal itu. Namun, aku harus mengamini ucapan Pak Kades. Tanya itu tak terjawab malam itu, akhirnya aku tertidur membawa serta rasa penasaran.

Paginya, aku bangun dengan rasa penasaran yang masih melekat. Pak Kades asik dengan kopinya didepan gubuk. Tiba-tiba, aku mendengar sebuah salam dari luar. Setelah menjawab salam, Pak Kades memberi kami kode untuk tetap tenang ditempat. Ternyata, tamu tersebut adalah orang dinas yang bertugas mengawasi Gunung Mekongga. Dari situ aku mendapat jawaban atas perintah pak kades semalam. Maksud dari perintah tersebut agar kami tak ketahuan oleh pengawas.

Secara prosedural, untuk mendaki gunung mekongga, pendaki haruslah mengurus administrasi pada dinas dan juga BASARNAS setempat. Namun, kata Pak Kades, jarak dari Desa Tinukari ke kota sangatlah jauh. Pun bila kami turun kebawah untuk mengurusnya, harus meluangkan waktu sehari dan belum tentu juga aparat terkait berada dikantor. Apalagi saat weekend. Pak Kades juga mengatakan, sebenarnya, masyarakat setempat ingin menarik retribusi pada pendaki. Namun, karena pengurusannya ribet, maka rencana tersebut tak dilaksanakan. ‘Lebih baik mereka fokus bertani’, tandas pak kades.
Tempat sederhana yang menyejukkan

Sungai Indah yang Menantang
Hari pertama memulai perjalanan, kami disambut oleh sungai eksotis bebatuan. Aku melihat seekor anjing berenang disungai tersebut. Kemungkinan, nama sungai tersebut adalah sungai Mosembo.

Tantangan awal pendakian Mekongga kami hadapi. Setelah melewati sungai Mosembo, sungai Tinokari berarus deras kami harus lalui. Webing kami bentangkan, camera dan alat eltronik lainya kami masukkan dalam Dry Bag lalu ke carrier. Carrier lalu kami gendong keatas dan memegang tali sembari berenang. Aku selamat dari arus, namun, salah satu kawanku hampir saja dibawa arus. Untung saja ada batu besar yang menahannya. Dan kami pun menolongnya lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Sungai indah yang menyambut perjalanan kami
Eksotisnya sungai mosembo

Betemu Anoa, Tersengat Bacet Loreng
Hari kedua dan ketiga, persediaan makanan dan air mencukupi. Kami hanya harus waspada bila saja bertemu Anoa diperjalanan. Hewan Anoa memang sangat banyak di Gunung Mekongga. Bila bertemu hewan tersebut, hanya 2 pilihan untuk selamat darinya: pertama, berlari sekencang-kencanganya. Kedua, panjatlah pohon setinggi-tingginya.

Anoa adalah spesies yang hampir punah. Anda mungkin tak pernah melihatnya. Sulawesi Tenggara adalah surga bagi hewan ini. Bahkan, Sulawesi Tenggara sendiri juga dikenal sebagai Bumi Anoa. Aku bertemu hewan ini dihari ke empat saat aku mengisi air disungai. Ketika bertatapan muka, sesuai dengan arahan Pak Kades, aku mendiam ditempat. Sedikit pun aku tak bergerak. Bila tidak, Anoa bisa langsung mengejarku. Untung saja saat itu Anoa beralih pada perhatian lain lalu beranjak dari hadapanku. Bila Anoa melihat manusia, ia tak segan-segan memburu lalu menanduknya hingga tewas. Ada beberapa pendaki yang menjadi korbannya.

Kami tiba dipuncak pada hari ke empat. Tracknya yang panjang, dipenuhi dengan semak belukar serta berbatu membuat lama perjalanan. Kami juga melewati hutan lumut yang indah. Dan diperjalanan kami banyak menemui pohon yang tumbang. Jalur Mekongga sangat samar, hal itu kadang membuat kami bingung. Untung saja aku lihai membaca kompas dan GPS. Terhitung 3 kali kami membuka jalur baru. Jalur Mekongga tak terbuka seperti gunung-gunung di pulau Jawa. Mekongga memang tak banyak kunjungan seperti Semeru karena alasan medannya. Makanya jalurnya samar. Kami kadang tak bisa membedakan mana jejak kaki manusia dan jejak kaki anoa.

Hutan lumut yang indah
Aku yang memakai mantel harus berada didepan untuk membuka jalur. Pacet loreng sempat masuk dalam mataku. Untung saja kawanku mencabutnya. Pacet Loreng adalah hewan seperti lintah. Adapula musuh para pendaki yang ingin kesini, yaitu Kutu Babi. Hewan ini sangat banyak di Mekongga. Hewan ini sangat nafsu untuk menggigit bagian perselangan manusia. Karena diperselanganlah hewan ini nyaman tumbuh. Bila tersengat, rasa gatal tak henti terasa. Untuk menghilangkan gatal tersebut harus dengan salep ganda. Tak cukup satu kali pengobatan. Karena gigitannya menginjeksi bibit-bibit seperti kutu dalam perselangan.

Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan tersebut, kami memanjat batuan karts tanpa alat bantu. Batuan karts adalah tanda puncak didepan mata. Akhirnya kami sampai puncak. Awan dan suara alam kami nikmati. Inilah kemenangan kecil kami setelah bertaruh melawan mental.

Tantangan terakhir sebelum mencapai puncak
Kawasan Karts di Puncak Gunung Mekongga
***

Pada tahun 2006, LIPI menemukan lebah raksasa di Gunung Mekongga. Peneliti LIPI telah memberi tahu warga setempat. Tetapi, hasil penemuan tersebut tak diperlihatkan oleh warga. Alasannya adalah laba tersebut ingin dijadikan samplig untuk diteliti jenisnya. Kabar dari penelitian itu belum ada hingga saat ini.

Banyak orang yang mengatakan bahwa Mekongga adalah replica dari Gunung Binaya Ambon, Maluku Utara. Di Indonesia, Gunung yang dipuncaknya terdapat batuan karts memang hanyalah Mekongga dan Karts. Walau belum ke Binayya, aku meyakini Mekongga jauh lebih indah dan menantang. Sayang gunung ini belum popular. Andai saja ada sebuah novel yang mengambil background cerita di Mekongga dan para sineas nasional membuat sebuah film tentangnya, maka para pengunjung Semeru mungkin akan beralih ke gunung yang eksotis dan indah ini.

Sangat banyak hal indah yang tak bisa kuceritakan secara detail. Karena, selain keterbatasan daya ingat, ada beberapa pesona gunung mekongga yang tak bisa kudefinisikan dan kuungkap lewat kata.

Jangan mengaku pendaki sejati bila belum menaklukkan gunung mekongga.


*Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di sultranesia.com

Minggu, 24 Januari 2016

Memoar Rantau #1

Standard

Ijazah SMA baru saja kukantongi ke dalam tas. Aku menjabat tangan para guru dan teman-teman. Pada moment ini, semua sadar bahwa beberapa tahun ke depan takkan ada lagi pertemuan intens seperti tiga tahun belakangan. Menyoal kita akan kemana, masih menjadi misteri.
Dibenakku, ijazah yang baru saja aku dapatkan melalui perjuangan tiga tahun, hanyalah selembar pengakuan formalitas yang tak layak dibanggakan. Apapun bentuknya, ijazah hanyalah sebuah kertas. Kodrat kertas tetaplah kertas, perkara ia berbalut stempel, tanda tangan atau deretan angka didalamnya, itu hanyalah kiasan belaka. Kenangan manis dalam proses meraihnyalah yang patut dibanggakan.
Aku melangkahkan kaki menuju rumah sembari memikirkan hal yang harus ku perbuat setelah ini. Apakah melanjutkan perjuangan untuk meraih kertas-kertas formalitas baru ataukah berkelana kemana saja untuk menemukan makna hidup yang penuh tanda tanya; Pikiran seorang remaja 17 tahun yang berada di ambang pintu kedewasaan.
Saat malam tiba, aku berkontemplasi ditemani musik Superman Is Dead dan segelas kopi di pojok kamar berukuran 6×4 meter. Dalam rimba pikiran yang cukup sesak, aku tetiba mengingat kejadian setahun yang lalu, tentang sebuah mimpi yang tak dapat aku bumikan bersama seorang sahabat.
Cerita itu berulang…
Riqar bersama EKA basis SID. Mimpi yang membumi
Riqar bersama EKA basis SID. Mimpi yang membumi
Aku adalah siswa IPS SMA Negeri 9 Kendari. Sekolah ini adalah sekolah sederhana yang bercita-cita ingin mencetak manusia purna merdeka dan pembaharu. Aku angkatan kedua di sekolah ini. Saat kelas tiga, guru-guru hendak mengadakan study tour ke Pulau Jawa dan Bali. Kehendak tersebut mendapat apresiasi dari para siswa. Sebulan sebelum keberangkatan, hampir tiap hari siswa dan guru-guru ramai membincangi agenda ini.
Aku bersama sahabat juga ikut membicarakannya. Sahabatku bernama APINK. Aku menganggapnya seperti keluarga. Ia sering menginap di rumah, orang tuaku juga sangat akrab dengannya. Dari awal sekolah kami membentuk band Rock dan sering manggung di event festival. Tak jarang kami juga tampil sebagai band pembuka di konser band nasional di Kendari dan juga menjadi guest stars di beberapa event. Apink adalah pengetuk drum, aku sendiri pemetik bass.
Saat itu, saat jam istirahat sekolah diluar kelas, kami menimbang apakah akan ikut study tour atau tidak. Kami tak mau ikut-ikutan untuk hal-hal yang kurang berguna. Kalau pun kami ikut serta, kami ingin perjalanan itu bisa melahirkan semangat dan inspirasi baru.
Kami juga memutuskan agar orang tua tak perlu cemplung dalam hal ini. Karena kami sadar kondisi ekonomi keluarga yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dapur dan sekolah kami. Untuk jajan saja kami kekurangan, apalagi untuk biaya study tour.
Sembari menimbang, kami tak melewatkan pandangan pada setiap wanita yang lewat dihadapan, sehingga perbincangan menjadi tak fokus, dan tiba-tiba saja meloncat ke soal musik. Kami bercerita tentang kehidupan dan karya-karya musisi favorit kami yang mayoritas berada di Jawa dan Bali seperti J-Rocks, Superman Is Dead dan lainnya.
Tiba-tiba, aku mendapat ide, sebuah alasan untuk ikut study tour sekolah. Jawa dan Bali adalah tempat di mana musisi favorit kami lahir dan berkarya. Bisa saja, sepulang study tour, kami mendapat inspirasi untuk menciptakan lagu dan mungkin mengeluarkan album.
Apink bersorak setuju. Baginya, kita bukanlah hewan piaraan yang harus pasrah dikurung dalam satu kandang. “Kita harus keluar dari pulau ini dan melihat kehidupan di luar sana!”, sahabatku itu memang tak pernah berseberangan pendapat denganku.
Karena alasan itu, kami lalu memikirkan cara mandiri agar bisa ikut study tour. Hambatan kami hanyalah uang. Kami mencari jalan dengan membuat food bazar di salah satu ruang publik kota Kendari. Teman-teman yang lain kami libatkan dengan dalih seru-seruan. Kami menyembunyikan maksud sebenarnya. Sebab, mana mungkin mereka mau mengucur keringat hanya untuk membantu hasrat kami untuk ikut Study Tour.
Seluruh teman sekolah, teman di sekolah lain, dan beberapa relasi kami hubungi untuk membeli kupon bazar. Dari bazar itu, kami mendapat keuntungan sebesar 200.000 rupiah. Namun, nominal tersebut belum cukup untuk mengantarkan kami ke pulau Jawa dan Bali. Biaya study tour sebesar dua juta rupiah per siswa.
Kami masih harus mengumpulkan sisanya, sementara tiga pekan lagi Study Tour akan dimulai. Ide liar lalu bermunculan. Mulai dari mencuri handphone dan sebagainya. Pihak sekolah memberi toleransi bagi siswa yang ingin berusaha. Syaratnya adalah harus menyebar proposal, hasil pendapatan akan dibagi beberapa persen kepada siswa yang berhasil mendapatkan donator. Tapi, peluang itu tak kami ambil, sebab kami masih terlalu polos untuk berhadapan dengan calon donator. Ide nakal untuk mencuri handphone juga segera kami buang jauh-jauh.
Waktu terus berjalan. Kami mungkin telat berusaha. Sepekan sebelum Study Tour, kami menyerah dan akhirnya memilih menjadi orang yang gagal untuk membumikan mimpi menginjakkan kaki di Pulau Jawa dan Bali. Uang hasil bazar kami pakai untuk membeli pakaian dan menertawakan kegagalan.
Begitulah cerita kegagalanku. Namun, justru dari cerita kegagalan tersebut aku mendapatkan sebuah pilihan langkah baru. Aku ingin melanjutkan studiku di pulau Jawa sembari membunuh pahit kegagalan setahun yang lalu.
Aku teringat seorang keluarga yang sedang kuliah di kota Malang, Jawa Timur. Rasa-rasanya, disanalah aku akan meletakkan langkah baruku. Aku tahu kota Malang dekat dengan Bali. Di sana pula tempat para musisi lokal kenamaan Kendari mengembangkan skill musiknya. Selain membumikan mimpi di kelas tiga SMA,  aku juga bisa mengembangkan skill musik dan bertemu dengan musisi favorit.
Masih dipojok kamar, kopiku sisa setengah. Album Black Market Love SID di cd player, mendendang lagu “Bangkit dan Percaya”. Bait kedua setelah reff pada lagu tersebut, berlirik,
“KULIHAT JELAS KEPEDIHAN DI MATAMU, JALAN GELAP LALUI BERSAMA
DAN SAHABAT IA PERGI MENINGGALKANKU
KAN KUKENANG SAMPAI NAFASKU BERAKHIR”.
Aku lalu teringat sahabatku, APINK. Mestikah aku tinggalkan dia di kota ini? Lagu ‘Bangkit dan Percaya” usai, berganti dengan “Kita Vs. Mereka”. Hati kecilku berbisik, Tuhan mungkin memilihku untuk lebih dulu membumikan mimpi itu ketimbang sahabatku.
Aku harus menyusun rencana apik untuk ke Malang. Pikiranku lelah berkeliaran, aku tertidur memeluk mimpi merantau di Kota Malang.
Aku terbangun bak mendapat ilham dari langit kesiangan. Jalan untuk merantau ke Kota Malang terlintas dipikiranku. Aku ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Sore… senja datang tanpa izin, aku coba mengkomunikasikan hal semalam ke orang tua dan kakak perempuanku. Sayangnya tak ada kata sepakat. Mereka lebih memilihku untuk melanjutkan studi ke kampung halaman Bapak di Bumi Angging Mammiri, Makassar. Dengan iming-iming orang rumah akan patungan untuk memenuhi saku bulananku yang akan banyak, kendaraan juga akan disediakan, aku juga boleh ngekost walau disana ada delapan rumah milik saudara Bapak serta rumah nenek yang pasti sangat welcome untuk kutinggali. Jika aku masih ngotot untuk melanjutkan study dipulau Jawa, keluarga tidak akan menanggung apa-apa.
Hatiku gusar mendengarnya. Malam hari, seorang sepupu yang juga alumni Malang berkunjung ke rumah memberiku dukungan untuk melanjutkan studi di kota Malang, seperti dirinya. Ia mendengar perihal ini dari kakak perempuanku. Alasannya adalah agar aku dapat berkembang dan sebagainya. Ia mencoba membujuk orang tuaku. Namun hasilnya sama saja.
Aku tidak berhenti mencari cara. Diluar rumah, sepekan setelah komunikasi awal, aku menghubungi kakak tertuaku di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Secara financial, aku tahu beliau cukup kuat untuk membiayai studi dan hidupku di Kota Malang nantinya. Usahaku tak sia-sia, beliau setuju dengan permintaanku dan berkomitmen menanggung segala kebutuhanku nantinya. Aku semakin optimis, kaki ini akan menjejak di kota Malang sebentar lagi.
Hasil tersebut, kusampaikan ke orang tua dan kakak perempuanku. Namun, mereka masih juga menimbang. Mereka mungkin khawatir dan belum yakin untuk  melepasku ke kota yang jauh dari Sulawesi. Aku lalu mencari cara yang dapat meyakinkan mereka bahwa inil adalah pilihan terbaik untuk pengembangan diriku.
Aku mengingatkan kelakuan negatifku selama di Kendari sebagai bentuk pertimbangan. Aku ceritakan pula bahwa teman-temanku banyak yang melanjutkan studi di Makassar, akan susah aku berkembang jika bertemu lagi dengan mereka. Di Pulau Jawa, aku bisa berteman dengan orang baru yang berasal dari kota lain. Kualitas pendidikan dan universitas ternama juga aku “lacurkan” menjadi sebuah argumen yang sulit dibantah dan membuat orang tua dan kakak perempuanku terdiam.
Waktu berlalu, aku terus menunggu penuh harap agar hati orang tuaku luluh. Tanpa izin mereka, aku akan kembali menjadi orang yang gagal dalam mewujudkan impian. Mereka belum juga memberi putusan. Melewati sepekan, jawaban itu datang. Namun tidak dalam bentuk izin. Mereka hanya memintaku untuk mendaftar dan mengikuti tes tulis mandiri di Universitas Haluleo Kendari dan membedil Univertias Brawijaya Malang, Universitas Hasanuddin Makassar dan Universitas Haluoleo. Karena ada dua kampus yang tak masuk dalam daftar keinginanku, aku menilai ini bukanlah tanda kesepakatan. Saat tes tulis, aku setengah hati menjawab pertanyaan. Kujawab soal seadanya. Aku juga tak belajar sama sekali sebelum tes. Ini bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan ungkapan kekecewaan.
Ada cerita pahit yang aku alami saat mendaftar di Universitas Haluloe. Aku dipalak oleh seorang mahasiswa yang mulutnya bau alkohol, tubuhnya hitam dan memegang sebilah samurai. Bukan itu saja, dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berpapasan dengan seorang mahasiswa yang lari gemetar dikejar mahasiswa lain yang memakai topeng sambil mengangkat parang. Kejadian ini mengerikan sekaligus menyenangkan. Menyenangkan? Ya, menyenangkan. Sebab, aku tak jadi korban dari adu kehebatan tersebut, aku malah mendapat alasan baru untuk meninggalkan pulau Sulawesi.
Waktu lagi-lagi berlalu. Sudah sebulan kota Malang menghantui pikiranku. Pengumuman tes tertulis pun keluar, dan seperti yang kuduga, aku tak lulus di ketiga Universitas itu. Akhirnya, orang tua dan kakak perempuanku mengalah. Kakak tertuaku juga masih memegang komitmennya. Aku diterbangkan ke negeri rantau, Bumi Arema Malang.
Inilah awal kisahku menjadi mahasiswa rantau. Diawali dari endapan kegagalan membumikan mimpi di kelas tiga SMA lalu menjual segala sisi negatif diri dan lingkungan sebagai sebuah argumen untuk mendapatkan persetujuan keluarga.
Dalihku mungkin sama saat menjual kupon bazar; menyembunyikan maksud sebenarnya demi sebuah pembumian mimpi. Ini tak benar? Aku akan terbuka mendebatmu jika itu penilaianmu. Bagiku, mimpi yang tumbuh secara sadar haruslah dibumikan. Sekalipun didalam proses meraihnya keluar dari jalan kebenaran, seperti (mungkin) anggapanmu.
Saat ini, aku sedang menikmati resiko dalam proses meraih tiket rantau. Satu hal yang belum aku kemukakan sedari tadi. Dalam proses tawar menawar diatas, ada sebuah komitmen yang aku keluarkan. Yaitu, belajar bersungguh-sungguh dan kembali ke ranah dengan gelar strata 1. Kini, aku bertaruh pada komitment tersebut.
Kedua orang tuaku hanyalah tamatan SMA. Namun, standar keberhasilan mereka dalam mendidik adalah melihat anak-anaknya berpendidikan lebih dari mereka.
Karena anggapanku Malang hanya sekadar tempat membumikan mimpi SMA, dan kuliah hanyalah alat untuk mendapatkan tiket rantau. Tujuh tahun berlalu dan aku belum juga menyelesaikan strata 1 di Universitas Muhammadiyah Malang.
Aku sudah menginjakkan kaki di seluruh provinsi di pulau Jawa. Saat awal semester juga telah ke Bali selama sebulan. Aku adalah pemenang atas pembumian mimpi, namun masih gagal dalam membumikan janji.
Mungkin, penyebab aku belum lulus dari kampus adalah anggapan soal ijazah hanyalah sebuah kertas yang tak patut dibanggakan, dan aku sama sekali tak memimpikan gelar strata 1. Namun bagaimanapun, sarjana adalah sebuah janji yang harus kulunasi. Aku rela pertaruhkan hidupku untuk itu. Sebab, aku tau bagaimana pahitnya kegagalan. Dan aku tak ingin melihat orang tuaku merasa gagal menjadi seorang pendidik.
Mungkin kisah ini tak semenarik dengan kisah mahasiswa rantau lain. Aku memang tak pandai berkisah lewat teks. Aku hanya coba mengungkap bahasa qalbu. Tapi, bisa menulis dan akan terus menulis juga menjadi impianku sejak tiga tahun yang lalu. Walau tulisanku jelek, aku masih akan terus menulis atas nama pembumian mimpi.
*Tulisan ini sebelumnya pernah di muat di www.mahasiswarantau.com