Minggu, 24 Januari 2016

Memoar Rantau #1

Standard

Ijazah SMA baru saja kukantongi ke dalam tas. Aku menjabat tangan para guru dan teman-teman. Pada moment ini, semua sadar bahwa beberapa tahun ke depan takkan ada lagi pertemuan intens seperti tiga tahun belakangan. Menyoal kita akan kemana, masih menjadi misteri.
Dibenakku, ijazah yang baru saja aku dapatkan melalui perjuangan tiga tahun, hanyalah selembar pengakuan formalitas yang tak layak dibanggakan. Apapun bentuknya, ijazah hanyalah sebuah kertas. Kodrat kertas tetaplah kertas, perkara ia berbalut stempel, tanda tangan atau deretan angka didalamnya, itu hanyalah kiasan belaka. Kenangan manis dalam proses meraihnyalah yang patut dibanggakan.
Aku melangkahkan kaki menuju rumah sembari memikirkan hal yang harus ku perbuat setelah ini. Apakah melanjutkan perjuangan untuk meraih kertas-kertas formalitas baru ataukah berkelana kemana saja untuk menemukan makna hidup yang penuh tanda tanya; Pikiran seorang remaja 17 tahun yang berada di ambang pintu kedewasaan.
Saat malam tiba, aku berkontemplasi ditemani musik Superman Is Dead dan segelas kopi di pojok kamar berukuran 6×4 meter. Dalam rimba pikiran yang cukup sesak, aku tetiba mengingat kejadian setahun yang lalu, tentang sebuah mimpi yang tak dapat aku bumikan bersama seorang sahabat.
Cerita itu berulang…
Riqar bersama EKA basis SID. Mimpi yang membumi
Riqar bersama EKA basis SID. Mimpi yang membumi
Aku adalah siswa IPS SMA Negeri 9 Kendari. Sekolah ini adalah sekolah sederhana yang bercita-cita ingin mencetak manusia purna merdeka dan pembaharu. Aku angkatan kedua di sekolah ini. Saat kelas tiga, guru-guru hendak mengadakan study tour ke Pulau Jawa dan Bali. Kehendak tersebut mendapat apresiasi dari para siswa. Sebulan sebelum keberangkatan, hampir tiap hari siswa dan guru-guru ramai membincangi agenda ini.
Aku bersama sahabat juga ikut membicarakannya. Sahabatku bernama APINK. Aku menganggapnya seperti keluarga. Ia sering menginap di rumah, orang tuaku juga sangat akrab dengannya. Dari awal sekolah kami membentuk band Rock dan sering manggung di event festival. Tak jarang kami juga tampil sebagai band pembuka di konser band nasional di Kendari dan juga menjadi guest stars di beberapa event. Apink adalah pengetuk drum, aku sendiri pemetik bass.
Saat itu, saat jam istirahat sekolah diluar kelas, kami menimbang apakah akan ikut study tour atau tidak. Kami tak mau ikut-ikutan untuk hal-hal yang kurang berguna. Kalau pun kami ikut serta, kami ingin perjalanan itu bisa melahirkan semangat dan inspirasi baru.
Kami juga memutuskan agar orang tua tak perlu cemplung dalam hal ini. Karena kami sadar kondisi ekonomi keluarga yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dapur dan sekolah kami. Untuk jajan saja kami kekurangan, apalagi untuk biaya study tour.
Sembari menimbang, kami tak melewatkan pandangan pada setiap wanita yang lewat dihadapan, sehingga perbincangan menjadi tak fokus, dan tiba-tiba saja meloncat ke soal musik. Kami bercerita tentang kehidupan dan karya-karya musisi favorit kami yang mayoritas berada di Jawa dan Bali seperti J-Rocks, Superman Is Dead dan lainnya.
Tiba-tiba, aku mendapat ide, sebuah alasan untuk ikut study tour sekolah. Jawa dan Bali adalah tempat di mana musisi favorit kami lahir dan berkarya. Bisa saja, sepulang study tour, kami mendapat inspirasi untuk menciptakan lagu dan mungkin mengeluarkan album.
Apink bersorak setuju. Baginya, kita bukanlah hewan piaraan yang harus pasrah dikurung dalam satu kandang. “Kita harus keluar dari pulau ini dan melihat kehidupan di luar sana!”, sahabatku itu memang tak pernah berseberangan pendapat denganku.
Karena alasan itu, kami lalu memikirkan cara mandiri agar bisa ikut study tour. Hambatan kami hanyalah uang. Kami mencari jalan dengan membuat food bazar di salah satu ruang publik kota Kendari. Teman-teman yang lain kami libatkan dengan dalih seru-seruan. Kami menyembunyikan maksud sebenarnya. Sebab, mana mungkin mereka mau mengucur keringat hanya untuk membantu hasrat kami untuk ikut Study Tour.
Seluruh teman sekolah, teman di sekolah lain, dan beberapa relasi kami hubungi untuk membeli kupon bazar. Dari bazar itu, kami mendapat keuntungan sebesar 200.000 rupiah. Namun, nominal tersebut belum cukup untuk mengantarkan kami ke pulau Jawa dan Bali. Biaya study tour sebesar dua juta rupiah per siswa.
Kami masih harus mengumpulkan sisanya, sementara tiga pekan lagi Study Tour akan dimulai. Ide liar lalu bermunculan. Mulai dari mencuri handphone dan sebagainya. Pihak sekolah memberi toleransi bagi siswa yang ingin berusaha. Syaratnya adalah harus menyebar proposal, hasil pendapatan akan dibagi beberapa persen kepada siswa yang berhasil mendapatkan donator. Tapi, peluang itu tak kami ambil, sebab kami masih terlalu polos untuk berhadapan dengan calon donator. Ide nakal untuk mencuri handphone juga segera kami buang jauh-jauh.
Waktu terus berjalan. Kami mungkin telat berusaha. Sepekan sebelum Study Tour, kami menyerah dan akhirnya memilih menjadi orang yang gagal untuk membumikan mimpi menginjakkan kaki di Pulau Jawa dan Bali. Uang hasil bazar kami pakai untuk membeli pakaian dan menertawakan kegagalan.
Begitulah cerita kegagalanku. Namun, justru dari cerita kegagalan tersebut aku mendapatkan sebuah pilihan langkah baru. Aku ingin melanjutkan studiku di pulau Jawa sembari membunuh pahit kegagalan setahun yang lalu.
Aku teringat seorang keluarga yang sedang kuliah di kota Malang, Jawa Timur. Rasa-rasanya, disanalah aku akan meletakkan langkah baruku. Aku tahu kota Malang dekat dengan Bali. Di sana pula tempat para musisi lokal kenamaan Kendari mengembangkan skill musiknya. Selain membumikan mimpi di kelas tiga SMA,  aku juga bisa mengembangkan skill musik dan bertemu dengan musisi favorit.
Masih dipojok kamar, kopiku sisa setengah. Album Black Market Love SID di cd player, mendendang lagu “Bangkit dan Percaya”. Bait kedua setelah reff pada lagu tersebut, berlirik,
“KULIHAT JELAS KEPEDIHAN DI MATAMU, JALAN GELAP LALUI BERSAMA
DAN SAHABAT IA PERGI MENINGGALKANKU
KAN KUKENANG SAMPAI NAFASKU BERAKHIR”.
Aku lalu teringat sahabatku, APINK. Mestikah aku tinggalkan dia di kota ini? Lagu ‘Bangkit dan Percaya” usai, berganti dengan “Kita Vs. Mereka”. Hati kecilku berbisik, Tuhan mungkin memilihku untuk lebih dulu membumikan mimpi itu ketimbang sahabatku.
Aku harus menyusun rencana apik untuk ke Malang. Pikiranku lelah berkeliaran, aku tertidur memeluk mimpi merantau di Kota Malang.
Aku terbangun bak mendapat ilham dari langit kesiangan. Jalan untuk merantau ke Kota Malang terlintas dipikiranku. Aku ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Sore… senja datang tanpa izin, aku coba mengkomunikasikan hal semalam ke orang tua dan kakak perempuanku. Sayangnya tak ada kata sepakat. Mereka lebih memilihku untuk melanjutkan studi ke kampung halaman Bapak di Bumi Angging Mammiri, Makassar. Dengan iming-iming orang rumah akan patungan untuk memenuhi saku bulananku yang akan banyak, kendaraan juga akan disediakan, aku juga boleh ngekost walau disana ada delapan rumah milik saudara Bapak serta rumah nenek yang pasti sangat welcome untuk kutinggali. Jika aku masih ngotot untuk melanjutkan study dipulau Jawa, keluarga tidak akan menanggung apa-apa.
Hatiku gusar mendengarnya. Malam hari, seorang sepupu yang juga alumni Malang berkunjung ke rumah memberiku dukungan untuk melanjutkan studi di kota Malang, seperti dirinya. Ia mendengar perihal ini dari kakak perempuanku. Alasannya adalah agar aku dapat berkembang dan sebagainya. Ia mencoba membujuk orang tuaku. Namun hasilnya sama saja.
Aku tidak berhenti mencari cara. Diluar rumah, sepekan setelah komunikasi awal, aku menghubungi kakak tertuaku di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Secara financial, aku tahu beliau cukup kuat untuk membiayai studi dan hidupku di Kota Malang nantinya. Usahaku tak sia-sia, beliau setuju dengan permintaanku dan berkomitmen menanggung segala kebutuhanku nantinya. Aku semakin optimis, kaki ini akan menjejak di kota Malang sebentar lagi.
Hasil tersebut, kusampaikan ke orang tua dan kakak perempuanku. Namun, mereka masih juga menimbang. Mereka mungkin khawatir dan belum yakin untuk  melepasku ke kota yang jauh dari Sulawesi. Aku lalu mencari cara yang dapat meyakinkan mereka bahwa inil adalah pilihan terbaik untuk pengembangan diriku.
Aku mengingatkan kelakuan negatifku selama di Kendari sebagai bentuk pertimbangan. Aku ceritakan pula bahwa teman-temanku banyak yang melanjutkan studi di Makassar, akan susah aku berkembang jika bertemu lagi dengan mereka. Di Pulau Jawa, aku bisa berteman dengan orang baru yang berasal dari kota lain. Kualitas pendidikan dan universitas ternama juga aku “lacurkan” menjadi sebuah argumen yang sulit dibantah dan membuat orang tua dan kakak perempuanku terdiam.
Waktu berlalu, aku terus menunggu penuh harap agar hati orang tuaku luluh. Tanpa izin mereka, aku akan kembali menjadi orang yang gagal dalam mewujudkan impian. Mereka belum juga memberi putusan. Melewati sepekan, jawaban itu datang. Namun tidak dalam bentuk izin. Mereka hanya memintaku untuk mendaftar dan mengikuti tes tulis mandiri di Universitas Haluleo Kendari dan membedil Univertias Brawijaya Malang, Universitas Hasanuddin Makassar dan Universitas Haluoleo. Karena ada dua kampus yang tak masuk dalam daftar keinginanku, aku menilai ini bukanlah tanda kesepakatan. Saat tes tulis, aku setengah hati menjawab pertanyaan. Kujawab soal seadanya. Aku juga tak belajar sama sekali sebelum tes. Ini bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan ungkapan kekecewaan.
Ada cerita pahit yang aku alami saat mendaftar di Universitas Haluloe. Aku dipalak oleh seorang mahasiswa yang mulutnya bau alkohol, tubuhnya hitam dan memegang sebilah samurai. Bukan itu saja, dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berpapasan dengan seorang mahasiswa yang lari gemetar dikejar mahasiswa lain yang memakai topeng sambil mengangkat parang. Kejadian ini mengerikan sekaligus menyenangkan. Menyenangkan? Ya, menyenangkan. Sebab, aku tak jadi korban dari adu kehebatan tersebut, aku malah mendapat alasan baru untuk meninggalkan pulau Sulawesi.
Waktu lagi-lagi berlalu. Sudah sebulan kota Malang menghantui pikiranku. Pengumuman tes tertulis pun keluar, dan seperti yang kuduga, aku tak lulus di ketiga Universitas itu. Akhirnya, orang tua dan kakak perempuanku mengalah. Kakak tertuaku juga masih memegang komitmennya. Aku diterbangkan ke negeri rantau, Bumi Arema Malang.
Inilah awal kisahku menjadi mahasiswa rantau. Diawali dari endapan kegagalan membumikan mimpi di kelas tiga SMA lalu menjual segala sisi negatif diri dan lingkungan sebagai sebuah argumen untuk mendapatkan persetujuan keluarga.
Dalihku mungkin sama saat menjual kupon bazar; menyembunyikan maksud sebenarnya demi sebuah pembumian mimpi. Ini tak benar? Aku akan terbuka mendebatmu jika itu penilaianmu. Bagiku, mimpi yang tumbuh secara sadar haruslah dibumikan. Sekalipun didalam proses meraihnya keluar dari jalan kebenaran, seperti (mungkin) anggapanmu.
Saat ini, aku sedang menikmati resiko dalam proses meraih tiket rantau. Satu hal yang belum aku kemukakan sedari tadi. Dalam proses tawar menawar diatas, ada sebuah komitmen yang aku keluarkan. Yaitu, belajar bersungguh-sungguh dan kembali ke ranah dengan gelar strata 1. Kini, aku bertaruh pada komitment tersebut.
Kedua orang tuaku hanyalah tamatan SMA. Namun, standar keberhasilan mereka dalam mendidik adalah melihat anak-anaknya berpendidikan lebih dari mereka.
Karena anggapanku Malang hanya sekadar tempat membumikan mimpi SMA, dan kuliah hanyalah alat untuk mendapatkan tiket rantau. Tujuh tahun berlalu dan aku belum juga menyelesaikan strata 1 di Universitas Muhammadiyah Malang.
Aku sudah menginjakkan kaki di seluruh provinsi di pulau Jawa. Saat awal semester juga telah ke Bali selama sebulan. Aku adalah pemenang atas pembumian mimpi, namun masih gagal dalam membumikan janji.
Mungkin, penyebab aku belum lulus dari kampus adalah anggapan soal ijazah hanyalah sebuah kertas yang tak patut dibanggakan, dan aku sama sekali tak memimpikan gelar strata 1. Namun bagaimanapun, sarjana adalah sebuah janji yang harus kulunasi. Aku rela pertaruhkan hidupku untuk itu. Sebab, aku tau bagaimana pahitnya kegagalan. Dan aku tak ingin melihat orang tuaku merasa gagal menjadi seorang pendidik.
Mungkin kisah ini tak semenarik dengan kisah mahasiswa rantau lain. Aku memang tak pandai berkisah lewat teks. Aku hanya coba mengungkap bahasa qalbu. Tapi, bisa menulis dan akan terus menulis juga menjadi impianku sejak tiga tahun yang lalu. Walau tulisanku jelek, aku masih akan terus menulis atas nama pembumian mimpi.
*Tulisan ini sebelumnya pernah di muat di www.mahasiswarantau.com

0 komentar: