Senin, 25 Januari 2016

Pesona Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara

Standard
Saat memulai perjalanan

Saat liburan semester genap kemarin, akhirnya kubumikan salah satu mimpiku di bulan Juli 2014; memuncaki Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara. Alhasil, dengan bantuan PETA, GPS dan arahan dari teman-teman MAPALA Kendari, Aku beserta 3 teman berhasil memuncak setelah 7 hari perjalanan melewati banyak rintangan.

Gunung Mekongga adalah gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara dengan ketinggian 2.620 mdpl. Jika dibandingkan dengan gunung-gunung di pulau Jawa, dalam hal ketinggian Mekongga mungkin tak seberapa. Misalkan kita bandingkan dengan Gunung Semeru yang mencapai 3.676 mpdl.

Namun, ketika memuncaki gunung Semeru, pendakian diawali dari basecamp awal Ranupane, dengan ketinggian 2100 mdpl. Artinya, kita hanya mendaki 2.660 mdpl saja. Beda halnya dengan Gunung Mekongga. Perjalanan dimulai dari 1-17 mdpl. Basecamp awal berada di desa Tinukari. Dan desa tersebut hanyalah satu-satunya desa terdekat dari Gunung Mekongga. Bila ditotal, perbedaan pendakian Mekongga dan Semeru hanya berkisar 40-47 mdpl.

Keindahan dari Puncak Gunung Mekongga
Mari Berkenalan dengan Gunung Mekongga
Gunung Mekongga masuk dalam jajaran pegunungan Verbeck, dimana puncak tertingginya terdiri dari jenis batuan karst dataran tinggi. Puncak tertinggi Gunung Mekongga disebut Mosero-Sero oleh penduduk sekitar.

Wikipedia menyebutkan, secara geologis, wilayah pegunungan ini terbentuk dari atol yang terangkat sekitar ratusan juta tahun lalu. Fenomena ini memberi ruang bagi jenis flora dan fauna menjadi biota endemic yang hanya terdapat di wilayah ini.

Saat perjalanan, aku memang banyak menemukan tumbuhan aneh yang tak kuketahui jenisnya. Ribuan burung-burung yang tak pernah kulihat sebelumnya juga sangat banyak disana. Sangat sering burung-burung tersebut mengeluarkan kicua merdu yang harmonis diserap telinga. Kicau burung satu keburung yang lain seakan membentuk suatu nada dan menghasilkan instrument indah. Hal tersebut setia mengiringi langkah demi langkah kami dipagi hingga sore hari saat pendakian. Lelah terhapus atas decak kagum pada fenomena tersebut.

Dari cerita rakyat disana, Mekongga berasal dari kata Kongga, yaitu seekor burung raksasa. Suatu ketika, laku burung raksasa tersebut meresahkan penduduk sekitar karena ulahnya yang sering buat onar dan mengganggu kehidupan rakyat, utamanya saat mereka bertani. Lalu, muncullah seorang kesatria untuk melawan burung tersebut, dan sang ksatria/bangsawan berhasil menewaskan burung tersebut. Sebagai hadiah atas keberhasilannya, raja setempat menikahkan putrinya dengan si bangsawan. Dan untuk mengenang jasa/tragedy itu, kawasan tersebut diberilah nama Gunung Mekongga.

Peta Gunung Mekongga

Senja di pertengahan puncak
Lolos Administrasi
Aku memulai perjalanan dari basecamp awal di desa Tinukari. Bersama kawan, kami difasilitasi rumah pribadi milik Kepala Desa untuk beristirahat juga sambil berbincang-bincang dengan Pak Kades. Beliau menuturkan banyak hal, baik seputar mitos maupun temuan-temuan ilmiah yang ada di Gunung Mekongga.

Karena aku tak membawa surat izin, diakhir pembicaraan, kucoba komunikasikan perihal itu pada Pak Kades. Beliau yang tau aku beserta kawan jauh-jauh datang dari pulau jawa akhirnya berbaik hati memberi toleransi untuk melakukan pendakian walau tanpa kelengkapan syarat administrasi. Dengan catatan, seluruh carrier yang kami bawa harus disembunyikan pada suatu tempat. Tak tau aku maksud dari hal itu. Namun, aku harus mengamini ucapan Pak Kades. Tanya itu tak terjawab malam itu, akhirnya aku tertidur membawa serta rasa penasaran.

Paginya, aku bangun dengan rasa penasaran yang masih melekat. Pak Kades asik dengan kopinya didepan gubuk. Tiba-tiba, aku mendengar sebuah salam dari luar. Setelah menjawab salam, Pak Kades memberi kami kode untuk tetap tenang ditempat. Ternyata, tamu tersebut adalah orang dinas yang bertugas mengawasi Gunung Mekongga. Dari situ aku mendapat jawaban atas perintah pak kades semalam. Maksud dari perintah tersebut agar kami tak ketahuan oleh pengawas.

Secara prosedural, untuk mendaki gunung mekongga, pendaki haruslah mengurus administrasi pada dinas dan juga BASARNAS setempat. Namun, kata Pak Kades, jarak dari Desa Tinukari ke kota sangatlah jauh. Pun bila kami turun kebawah untuk mengurusnya, harus meluangkan waktu sehari dan belum tentu juga aparat terkait berada dikantor. Apalagi saat weekend. Pak Kades juga mengatakan, sebenarnya, masyarakat setempat ingin menarik retribusi pada pendaki. Namun, karena pengurusannya ribet, maka rencana tersebut tak dilaksanakan. ‘Lebih baik mereka fokus bertani’, tandas pak kades.
Tempat sederhana yang menyejukkan

Sungai Indah yang Menantang
Hari pertama memulai perjalanan, kami disambut oleh sungai eksotis bebatuan. Aku melihat seekor anjing berenang disungai tersebut. Kemungkinan, nama sungai tersebut adalah sungai Mosembo.

Tantangan awal pendakian Mekongga kami hadapi. Setelah melewati sungai Mosembo, sungai Tinokari berarus deras kami harus lalui. Webing kami bentangkan, camera dan alat eltronik lainya kami masukkan dalam Dry Bag lalu ke carrier. Carrier lalu kami gendong keatas dan memegang tali sembari berenang. Aku selamat dari arus, namun, salah satu kawanku hampir saja dibawa arus. Untung saja ada batu besar yang menahannya. Dan kami pun menolongnya lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Sungai indah yang menyambut perjalanan kami
Eksotisnya sungai mosembo

Betemu Anoa, Tersengat Bacet Loreng
Hari kedua dan ketiga, persediaan makanan dan air mencukupi. Kami hanya harus waspada bila saja bertemu Anoa diperjalanan. Hewan Anoa memang sangat banyak di Gunung Mekongga. Bila bertemu hewan tersebut, hanya 2 pilihan untuk selamat darinya: pertama, berlari sekencang-kencanganya. Kedua, panjatlah pohon setinggi-tingginya.

Anoa adalah spesies yang hampir punah. Anda mungkin tak pernah melihatnya. Sulawesi Tenggara adalah surga bagi hewan ini. Bahkan, Sulawesi Tenggara sendiri juga dikenal sebagai Bumi Anoa. Aku bertemu hewan ini dihari ke empat saat aku mengisi air disungai. Ketika bertatapan muka, sesuai dengan arahan Pak Kades, aku mendiam ditempat. Sedikit pun aku tak bergerak. Bila tidak, Anoa bisa langsung mengejarku. Untung saja saat itu Anoa beralih pada perhatian lain lalu beranjak dari hadapanku. Bila Anoa melihat manusia, ia tak segan-segan memburu lalu menanduknya hingga tewas. Ada beberapa pendaki yang menjadi korbannya.

Kami tiba dipuncak pada hari ke empat. Tracknya yang panjang, dipenuhi dengan semak belukar serta berbatu membuat lama perjalanan. Kami juga melewati hutan lumut yang indah. Dan diperjalanan kami banyak menemui pohon yang tumbang. Jalur Mekongga sangat samar, hal itu kadang membuat kami bingung. Untung saja aku lihai membaca kompas dan GPS. Terhitung 3 kali kami membuka jalur baru. Jalur Mekongga tak terbuka seperti gunung-gunung di pulau Jawa. Mekongga memang tak banyak kunjungan seperti Semeru karena alasan medannya. Makanya jalurnya samar. Kami kadang tak bisa membedakan mana jejak kaki manusia dan jejak kaki anoa.

Hutan lumut yang indah
Aku yang memakai mantel harus berada didepan untuk membuka jalur. Pacet loreng sempat masuk dalam mataku. Untung saja kawanku mencabutnya. Pacet Loreng adalah hewan seperti lintah. Adapula musuh para pendaki yang ingin kesini, yaitu Kutu Babi. Hewan ini sangat banyak di Mekongga. Hewan ini sangat nafsu untuk menggigit bagian perselangan manusia. Karena diperselanganlah hewan ini nyaman tumbuh. Bila tersengat, rasa gatal tak henti terasa. Untuk menghilangkan gatal tersebut harus dengan salep ganda. Tak cukup satu kali pengobatan. Karena gigitannya menginjeksi bibit-bibit seperti kutu dalam perselangan.

Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan tersebut, kami memanjat batuan karts tanpa alat bantu. Batuan karts adalah tanda puncak didepan mata. Akhirnya kami sampai puncak. Awan dan suara alam kami nikmati. Inilah kemenangan kecil kami setelah bertaruh melawan mental.

Tantangan terakhir sebelum mencapai puncak
Kawasan Karts di Puncak Gunung Mekongga
***

Pada tahun 2006, LIPI menemukan lebah raksasa di Gunung Mekongga. Peneliti LIPI telah memberi tahu warga setempat. Tetapi, hasil penemuan tersebut tak diperlihatkan oleh warga. Alasannya adalah laba tersebut ingin dijadikan samplig untuk diteliti jenisnya. Kabar dari penelitian itu belum ada hingga saat ini.

Banyak orang yang mengatakan bahwa Mekongga adalah replica dari Gunung Binaya Ambon, Maluku Utara. Di Indonesia, Gunung yang dipuncaknya terdapat batuan karts memang hanyalah Mekongga dan Karts. Walau belum ke Binayya, aku meyakini Mekongga jauh lebih indah dan menantang. Sayang gunung ini belum popular. Andai saja ada sebuah novel yang mengambil background cerita di Mekongga dan para sineas nasional membuat sebuah film tentangnya, maka para pengunjung Semeru mungkin akan beralih ke gunung yang eksotis dan indah ini.

Sangat banyak hal indah yang tak bisa kuceritakan secara detail. Karena, selain keterbatasan daya ingat, ada beberapa pesona gunung mekongga yang tak bisa kudefinisikan dan kuungkap lewat kata.

Jangan mengaku pendaki sejati bila belum menaklukkan gunung mekongga.


*Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di sultranesia.com

0 komentar: