Rabu, 16 Maret 2016

Tumpul Ingatan (1)

Standard
Ponakanku
(jangan ikuti jejak om mu ini)

Sebulan belakangan ini, saya kebanyakan berpindah-pindah tempat nginap, dari satu rumah ke rumah dan kontrakan ke kontrakan teman yang lain. Walau saya sebenarnya memiliki kost sendiri. Alasannya, selain karena beberapa garapan kreatif yang mengharuskan saya seperti ini, saya juga sedang ingin menyerap banyak energi positif dari teman-teman baik saya. Karena dalam waktu beberapa bulan kedepan, saya beserta sahabat akan mengemukakan sebuah karya, dimana ada banyak konsekuensi yang harus kami terima ketika saat itu terjadi. Seperti tak mendapat penghargaan publik, dibilangin gak mutu dan lain sebagainya. Dan hal tersebut kami prediksi akan membutuhkan mental yang cukup kuat dan energi yang lumayan banyak.

Karena hidup nomaden, saya selalu membawa tas kecil yang isinya tidak lain adalah alat mandi, buku, catatan harian, pulpen dan beberapa lembaran penting lainnya. Dalam kondisi seperti ini, kadang saya merasa ramai, kadang pula saya merasa seperti orang yang terasing. Tapi memang kondisi dinamis seperti ini yang saya inginkan untuk menghardik datangnya energi negatif.

Saya jadi banyak ruang untuk berkontemplasi ditengah tidur lelap teman saya. Barusan, setelah makan malam, saya jadi mengenang masa kecil. Saya jadi merasa seperti ada banyak hal yang telah hilang dari saya. Saat masa kecil, rasanya saya cukup lihai dalam menghapal dan lentur dalam olah badan. Semisal ketika sebelum masuk TK, saya tergolong anak kecil yang disukai oleh keluarga. Karena hampir semua pejabat publik seperti nama-nama menteri saya hapal. Ini tidak lain karena didikan bapak saya yang saat itu masih menjadi politisi. Namun saat masuk TK dan SD, menghapal nama-nama menteri dan mengikuti perkembangan politik menjadi hal yang tidak menarik lagi bagiku. Hingga hapalan tersebut sirnah. Dan saat itu saya seketika berubah menjadi anak kecil yang nakal dan malas belajar. Sepakbola dan berkelahi adalah hal yang menarik perhatianku. Saya mengira hal tersebut terjadi karena waktu itu intensitas saya dengan bapak menjadi kurang.

Menjelang akhir SD, perhatian saya kembali berubah. Karena dulunya suka berkelahi, saya mengikuti latihan karate. Mumpung saat itu, simpae (Guru) karate di sekolah saya adalah Kakak Kandung saya. Saking seriusnya, saya tidak hanya latihan di satu tempat. Saat itu LEMKARI memiliki beberapa cabang di Kota Kendari, salah satunya di SD saya, tapi saya juga aktif latihan di LEMKARI Pusat. Karena yang saya pikirkan adalah bagaimana mendapat lawan sparing sebanyak-banyaknya.

Oh, iya. Menjelang ikut karate, saya waktu itu juga aktif mengaji di Mesjid Nurul Iman dekat rumah. Saya tergolong santri yang tidak buruk. Karena saya sempat wisuda. Untuk wisuda di tempat ngaji tersebut, para santri harus menghapal puluhan ayat pendek, bacaan sholat, doa-doa harian dan sebagainya. Prestasi lain di bidang keagamaan, saya pernah juara 3 lomba ngaji dan juga sering mendapat panggilan ketika ada lomba baca Qur'an, nyanyi-nyanyi lagu religi di SD dan Pramuka. Dalam sepak bola, saya juga tak jarang membawa pulang piala ketika mengikuti turnamen. Dan karena tak berfikir tentang menghargai usaha, sempat saat itu 1 piala saya jual seharga 10 Ribu Rupiah untuk jajan.

Menjelang SMP, saya sempat mengikuti kursus Bahasa Inggris. Dan saat itu bahasa inggris saya cukup baik. Hampir semua materi kursus saya kuasai. Saya juga ikut kursus komputer, hingga akhirnya dari saat itu saya menjadi juru ketik bagi Mamah dan Bapak.

Ini bukan tulisan narsis. Saya hanya lagi ingin menumpahkan beberapa kenangan masa kecil. Karena bagaimanapun ingatan itu ada batasnya. Sebelum semuanya hilang, ada baiknya saya abadikan dalam blog ini.

Masuk SMP, bukan hanya hapalan nama-nama politisi dan ilmu agama yang hilang dari lekat ingatan. Saya juga menjadi kaku untuk berkelahi dan main sepak bola. Hingga suatu ketika, saya pernah kalah berkelahi dengan cewek saat SMP, dan tak lolos seleksi untuk masuk dalam skuad tim sepakbola SMP. Mental saya waktu itu seperti ciut drastis. Apalagi bicara soal keagamaan, mulai dari hapalan sholat, surat pendek seperti terpenggal, lidah jadi kaku saat ngaji. Saat SMP, saya malah lebih senang dengar musik. Dan saya ingin jadi musisi. Sewaktu masuk kelas dua, karena kegilaan dengan musik, saya membentuk band bersama teman sekolah. Nah, dari situ semua hal-hal baik diatas seperti pergi menjauhiku. Dan di masa inilah saya mulai berkenalan dengan dunia hitam. Mulai aktif merokok (awalnya saat SD), mulai mengenal diskotik, dan hal lain yang kurang enak untuk saya sebutkan. Dalam masa ini saya sangat jarang di rumah. Saya jadi sering nginap di rumah teman, banyak latihan dan menyicip panggung. Eh, tapi dalam masa ini juga saya sempat beberapa bulan disuruh ngaji di rumah Imam Besar Nurul Iman oleh Mamah. Kemungkinan waktu itu insting Mamah berjalan melihat kebiasaan saya yang berubah. Makanya disuruh ngaji. Dan jika Mamah beri intruksi, saya sangat tak bisa menolak. Selain karena rasa sayang pada Mamah, beliau juga hampir selalu menuruti setiap perminttanku. Seperti membeli senar bass, fasilitas dalam kamar dan lain sebagainya. Tapi setelah beberapa bulan ngaji saya kembali bermusik dan happy happy bersama kawan-kawan.

Masuk SMA, saya jadi terlarut dengan musik, fashion dan gaya hidup kaum hippies. Ilmu Agama, Bahasa Inggris, Teknik Karate, Sepak Bola semua sirnah. Untuk menjaga kebugaran fisik, saya hanya sesekali berlari. Karena gaya hidup dilingkungan saya gemar lari pagi. SMA... Ah, malas banyak cerita. Terlalu banyak kenangan hitam di dalamnya. Intinya di masa inilah yang membuat semua hal positif di atas menutup pintu untuk kembali pada lekat ingatan. Sungguh saya sangat ingin mengembalikan itu semua. Tapi apa bisa?

Andaikata waktu itu saya bisa bermusik dan bergaul dengan ingatan-ingatan yang tetap melekat, kemungkinan pondasi hidup saya hari ini menjadi kokoh. Dan saya bisa berbicara dalam banyak dimensi. Sayang semua hilang.

Menyesal sih iya. Tapi apa yang lebih indah dari bangkit atas keterpurukan? Saya senang sadar dan cukup paham dengan perjalanan hidup saya. Yang bisa dipetik dari perjalanan hidup ini adalah hal-hal positif itu bisa tumbuh dan mengakar dalam ingatan ketika kita konsisten dalam melatihnya.

Cholil Efek Rumah Kaca bersama istrinya dalam duonya di Indie Art Wedding berkata dalam lagunya yang berjudul Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang: "Hey, taukah kau bahwa hidup itu berat. Mengapa kau tak mencoba berkesenian saja. Karena seni membuat terasa mudah, Karena seni membuat terasa indah, Karena seni membuat terasa asik." Hari ini saya kembali bermusik, namun saya juga telah meninggalkan bahkan jijik dengan dunia hitam, kecuali merokok (walau bagi saya hari ini merokok bukanlah merupakan hal negatif). Dan semoga dengan kembali berkesenian, semua hal-hal positif dalam masa kecil itu bisa kembali dalam rimba ingatanku. Pun tidak, setidaknya hidup ini menjadi terasa mudah, indah, dan asik.

Dari hasil renungan ini, saya jadi merasa bahwa seperti itulah mungkin konsep karma. Saya agak sepakat dengan karma menurut wikipedia, "karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan kelahiran kembali (reinkarnasi)". Ya, saya merasa seperti lahir kembali. Tidak seperti pengertian karma yang sering dimitoskan oleh orang umum. Misalkan kalau kita menabrak kucing saat berkendara, baik tidak disengaja, kita harus langsung menguburnya memakai baju kaos yang kita kenakan. Jika tidak, kita bisa celaka saat berkendara. Pertanyaannya, bagaimana semisal ketika kejadian itu terjadi, saat bersamaan kita harus sampai pada satu tujuan secara on time, dimana tujuan tersebut menentukan masa depan kita? Dan kalau telat, taruhannya adalah masa depan? Semisal ujian final skripsi dan sebagainya? Lagian, apakah roh kucing itu seperti kuntilanak dalam film-film sampah yang dapat menghantui kita tiap saat?


Karma bagiku adalah ketika kita mengalihkan suatu perhatian pada perhatian lain. Dimana dalam proses pengalihan perhatian tersebut kita melupakan perhatian sebelumnya. Semisal ketika kita belajar ilmu agama, dan ketika hal tersebut kita tinggalkan maka karmanya adalah kehilangan ilmu agama. Karma juga bagiku bagaikan otot binaragawan; ketika otot aktif dilatih, maka kemampuannya akan bertambah dan semakin berpotensi untuk mengangkat beban berat, namun ketika latihan dan pola makan tak dijaga, maka karmanya adalah otot kemudian menjadi lentur.

Dan rasanya, saya harus menemukan formulasi agar dalam tiap fase peralihan perhatian saya pada satu bidang tertentu tidak meninggalkan ingatan tentang bidang sebelumnya.

Sebelum menyudahi, saya juga agak curiga, jangan-jangan, hasil renungan ini bagian dari ingatan? Dan ingatan tekstual mungkin hilang, namun ada hal yang kontekstual yang masih melekat. Dan kemungkinan ada baiknya memahami ketimbang menghapal?


Entahlah...


(mungkin akan) Bersambung

0 komentar: