Jumat, 31 Juli 2015

Propaganda Anti Rokok dan Nasib Petani Tembakau Kita

Standard
Bulan lalu, tepatnya di tanggal 25 Juni 2015, beranda facebook saya dipenuhi oleh postingan beberapa rekan tentang sebuah berita yang mengabarkan gencarnya seorang yang tak ditau asal usulnya darimana tiba-tiba menjadi aktivis anti rokok. Ini dia beritanya Robby: Merokok Mati Gak Merokok Mati, Mending Merokok Sampai MatiHentak saja saat itu pula saya mengisi status fb tentang apa tujuan sesungguhnya dari postingan yang mengatakan tenggorokan Robby lubang karena merokok.


Dalam wall yang bertujuan untuk mengimbangi postingan yang kurang ilmiah tersebut, poin besar yang saya sampaikan adalah berita itu hanyalah memperkuat kekuatan provokasi orang-orang yang ingin mematikan nasib petani kita. Sebab, si provokator tersebut memiliki kepentingan besar dalam mengerup tembakau Indonesia yang kualitasnya di atas rata-rata serta harga jualnya sangat menggiurkan.

Saya memang perokok berat. Namun, saya tak berniat membela diri. Bahkan saya pernah menulis sisi negatif dari merokok (baca disini). Yang ingin saya sampaikan adalah, sebagai pecandu socmed, sebaiknya kita memiliki filter yang kuat atas lalu lalangnya berita yang mengembara di sekitar kanal kanal kita. Jangan sampai kita menjadi korban atas berita sampah yang hanya berniat provokasi agar kita terus saling menyalahkan.

Mari kita lihat lebih cermat berita tersebut dalam tinjauan medis. Apakah si Robby itu benar tenggorokannya lubang semata-mata karena rokok? Apakah untuk memperkuat dugaan, tenggorokan Robby telah diteliti secara cermat? Apa Robby diketahui bagaimana gaya hidupnya? Jangan-jangan Robby jarang berolahraga, sering minum alkohol, atau mungkin pecandu narkoba dan sering naik motor tak menggunakan kaca helm sehingga ia sering menghirup asap knalpot motor? Mengapa informasi itu tak dikeluarkan secara komperhensif? Dan, bukankah penyakit adalah akumulasi dari organ-organ tubuh yang tak berfungsi?

Menurut saya, Tuhan (ALLAH S.W.T) tak mungkin punya margin eror, begitupula dengan segala ciptaanya; temasuk TEMBAKAU yang merupakan salah satu bagian dari rokok. Mengapa merk/jenis rokok yang Robby isap tak ditunjukkan? Mengapa?

Sekitar tahun 2012, saya pernah menghadiri sebuah acara bedah buku tentang tembakau Indonesia. Acara tersebut menghadirkan para perokok, aktifis dan ahli medis. Dalam acara tersebut si aktivis mengeluarkan data bagaimana kepentingan provokator yang melakukan propaganda anti rokok di Indonesia. Datanya sangat kuat. Dari data tersebut si provokator rela mengeluarkan banyak biaya agar manusia Indonesia dicabut hak merokoknya melalui penaikan harga dan aturan-aturan sesat lainnya. Jika propaganda tersebut berhasil, dan para petani tembakau kelaparan karena bingung mau menjual kemana tembakaunya, maka datanglah si propaganda tersebut dengan duit sekarung mengangkut TEMBAKAU TEMBAKAU lezat pribumi untuk di olah diluar sana lalu menghasilkan banyak pundi pundi.

Sayang saya tak memegang dan mampu manampilkan data tersebut. Namun sangat baik jika data tersebut mampu dibantah secara ilmiah. Agar kita memiliki perbandingan data.

Beberapa saat yang lalu, rekan facebook saya memosting suatu berita dengan judul Kretek, Warisan Leluhur yang Wajib Dilindungi Pemerintah. Dalam berita itu, dikemukakan bahwa hasil riset yang menyatakan sisi negatif rokok adalah hasil riset rokok putih, yang tidak lain penelitian tersebut dilakukan di barat. Rokok memang tak bisa digeneralkan. Ada banyak jenis rokok. Ada yang kretek tanpa filter dan sebagainya. Bahkan di Malang Selatan ada pengobatan tradisional yang menggunakan rokok sebagai media penyembuhannya.

Saya lantas bertanya-tanya. Rokok apa sih yang paling berbahaya. Apakah rokok putih dan kretek, ataukah rokok eletrik yang merupakan produk barat yang lalu eksklusif di mata kita. Dan sampai dimana riset riset pejuang pejuang kesiangan itu? Lantas sekarang kemana Robby si pembuat petisi anti rokok itu? Upaya apa yang telah dilakukan untuk memperkuat perjuangannya?

Untuk saat ini pro kontra ini mungkin belum usai karena keterbatasan data kita. Lantas, dengan dangkalnya data yang kita pegang, mengapa kita masih sering sering saling salah menyalahkan, haram mengharamkan dengan argumen yang sangat mentah?

0 komentar: