Kamis, 31 Juli 2014

Atas Nama "Siri", Saya #MenolakMudik

Standard
Suasana Ramadhan di Kampung Halaman di 2 Tahun yang Lalu.
Foto Bersama Kedua Orang Tua dan Kedua Ponakan.

Tahun ini adalah lebaran Idul Fitri pertama yang kulalui diperantauan. Sejak beberapa bulan kemarin, saya memang sengaja memutuskan untuk tidak mudik. Sebenarnya, telah ada ajakan dari saudara dan juga pertanyaan "kode" dari orang tua yang bisa kukonversi menjadi tiket pesawat untuk mudik, hasrat rindu kampung halaman juga sangat besar. Namun, semua itu harus kurelakan karena siri' harus kutegakkan. Janji membawa pulang ijasah strata 1 belum kulunasi. Saya takut hal tersebut akan menjadi aib.

Aib? hal tersebut sebenarnya secara pribadi kuanggap bukanlah sebuah Aib. Namun, bila saya mudik, hal ini bisa menjadi Aib Dzahir dalam islam, karena saya sebagai objek akan diperhatikan. Biarlah ia masuk dalam golongan Aib Tersembunyi dimana hanya orang yang membaca tulisan ini yang akan mengetahuinya. Entah orang lain ingin membukanya, itu soal lain. Sebagai blogger's empirik, menulis adalah terapi diri dan tak ada seorang pun yang bisa melarang saya untuk menumpahkan endapan suara hati.

Kultur dikampung halaman saya ketika ada anak rantau yang mudik, selalu pertanyaan pertama yang dilontarkan adalah "apa kamu (atau anakta) sudah selesai kuliah?". Saya tak rela melihat wajah dan merasakan getaran hati orang tua saya ketika pertanyaan itu terlontar, baik dari keluarga atau tetangga. Karena memang jangka waktu kuliah saya telah masuk pada masa yang lebih dari cukup.

Sebelum saya mendapat izin untuk merantau, ada pergulatan kecil yang terjadi dirumah saya. Lanjut cerita, proses komunikasi yang panjang dan adanya janji yang kutancapkan, kemudian meredam gulatan kecil tersebut hingga akhirnya saya dibukakan pintu gerbang merantau. Seingat saya, ada beberapa poin janji yang kuutarakan saat itu, dan, rasa-rasanya hampir seluruh hal tersebut telah kulunasi. Hanyalah janji menambah nama lengkap dengan dua hurup dua titik yang belum kulunasi.

Yah, saya mungkin sedang mendorong perahu rantau yang kubuat di 6 tahun lalu ke dermaga penyebrangan. Namun, ransel yang berisi siri' masih terkunci dalam lemari rektor dimana hal tersebut adalah syarat utama agar saya mendapat izin dari kepala sabandar untuk mengayun perahu rantau hingga sampai ke ranah. Pelabuhan ranah dan rumah dikampung halaman telah menyiapkan pesta penyambutan. Namun tanpa ransel siri' maka pesta akan menjadi duka. Tak ada orang yang menginginkan duka terjadi, termasuk saya yang telah pernah berikrar.

Standar sukses merantau yang kubangun melebihi dari lulus dan meraih gelar sarjana. Sub standar telah kuraih. Tinggallah standar yang dibangun (mungkin) oleh orang tua saya yang belum kugapai. Atas hal tersebut maka saya #MenolakMudik.

Melaui tulisan ini saya harus jujur mengatakan bahwa saya sangat merindu mencium tangan, jidat dan pipi kedua orang tuaku dan saudara-sadaraku. Saya ingin menjabat tangan kalian semua wahai sahabat dan krabatku. Minal Adin Walfaidzin. Mohon Maaf lahir batin.

0 komentar: