Kamis, 19 Juni 2014

Rokok: Menyenangkan Teman, Menyakiti Teman

Standard


Akhir-akhir ini, kecangguhan melandai perasaan saya sebagai perokok aktif. Cangguh, bukan karena takut akan timbulnya penyakit dikemudian hari, bukan pula karena banyaknya duit yang musti dikeluarkan untuk mencipta gepulan asap di mulut, ataukah takut sebagai penebar penyakit pada orang lain yang tidak merokok. Kenapa demikian? sebentar akan saya ulas alasannya. Terlebih dahulu saya ingin cerita beberapa hal.

Saya tergolong sebagai perokok yang sangat aktif. Dalam sehari, minimal, saya menghabiskan rokok 1 bungkus. Dan bilamana pada keadaan berpikir berat, kadang, saya menghabiskan rokok hingga 2 bungkus perhari. Saya mengenal rokok sejak sekitar kelas 4 SD. Lingkungan dan rasa ingin tau yang tinggilah yang membuat saya bersahabat dengannya. Di SMP kelas 2, saya mulai melabelkan diri sebagai perokok aktif. Saat itu, niat saya bukan hanya untuk menikmati tembakau dan lezatnya nikotin berwujud asap. Namun juga untuk mendapat predikat gaul dari teman-teman.

Saya sebenarnya sadar dan telah siap menerima resiko efek samping sebagai perokok aktif. Bahwa penyakit serangan jantung, impotensi, kanker, kanker (kantong kering) maupun penyakit-penyakit lainnya akan melanda dikemudian hari, itu adalah konsekuensi logis yang harus diterima.

Saat yang sama, walau saya sering mengabaikan orang yang berbicara tanpa kejelasan ilmiah, dalam hal yang satu ini entah mengapa saya mengabaikan fakta ilmiah daripada efek samping rokok. Keilmiahan efek rokok tak cukup untuk menghentikan saya sebagai perokok. Saya telah terjebak pada masa lalu, rokok telah menjadi candu.

Yang saya rasakan bila merokok, utamanya saat menulis; detak jantung berdetak cepat, asap yang masuk keparu-paru kemudian merespon dan menstimulus otak, inspirasi mudah lahir dan saya merasakan sebuah keringan merangkai kata menjadi kalimat dan sebuah teks bila sambil merokok.

Rokok juga telah menjadi sugesti dalam memunculkan kepercayaan diri saya didepan publik. Ketika misalkan berbicara didepan forum, saya lebih nyaman bila sambil merokok. Sewaktu ngopi dengan bang Arie Kriting, ia pernah mengatakan: "Seseorang ketika tampil didepan publik, grogi pasti datang dan grogi tak bisa dihilangkan. Grogi hanya bisa dialihkan pada hal lain". Yah, saya membenarkan perkataannya, bagi saya, rokok merupakan alat paling ampuh untuk mengalihkan grogi. Saya kurang nyaman bila berada dalam forum yang tak membolehkan orang untuk merokok.

Entahlah. Hal yang saya rasakan ini mungkin sangat besar potensinya untuk diperdebatkan. Masih banyak alat pengalihan lain yang lebih positif. Mungkin, suatu saat nanti akan tiba masa dimana saya akan memaksakan diri untuk berhenti merokok. Namun tidak untuk saat ini.

***

Oke! sampai dimana perbincangan kita? Oh iya... karena rokok saya sudah mau habis, sebaiknya saya langsung saja kemukakan alasan apa yang membuat akhir-akhir ini saya kembali berfikir ulang untuk tak sering-sering membeli rokok sepack utamanya saat berada diruang publik atau bercengkrama dengan teman.

Telah menjadi kebiasaan ketika ada duit dan masuk kewarung, saya pasti membeli rokok sebungkus, sangat jarang batangan. Kenapa demikian? karena saya malas saja bila rokok habis musti lalu lalang lagi kewarung. Membeli rokok sebungkus juga agar stock terus terjaga.

Akhir-akhir ini, saya merasakan lebih sering dibantu merokok oleh teman. Kadang, sebungkus rokok Pro Mild yang berisi 16 batang, saya hanya mengisapnya sebanyak 4-6 batang dan selebihnya dibantu teman. Saya berfikir ini adalah langkah yang salah. Kenapa salah? dalam perspektif ekonomi, saya bagaikan seorang bos teman-teman. Padahal teman-teman saya tak pernah bekerja untuk saya. Tapi bukan itu yang membuat saya untuk berfikir ulang. Karena tak jarang saya juga mengisap rokok teman.

Saya hanya kembali berfikir ulang bahwa semakin sering saya memberi rokok pada teman, semakin banyak pula dosa saya. Dosa? ya! Karena saya turut terlibat dalam memberi mereka kemudahan untuk mendapatkan penyakit. Bahwa rokok adalah media pertemanan yang paling efektif mungkin iya. Tapi, dalam konteks kesehatan, sebenarnya kita kadang lupa bahwa dengan menawarkan atau memberi rokok pada teman, itu sekaligus adalah langkah yang paling dzolim dalam memberi teman sebuah penyakit.

Kita mungkin selalu ikhlas ketika rokok kita di isap oleh teman. Namun, efek kesehatan musti kita tinjau ulang. Banyak orang lain yang tidak merokok namun tanpa rokok mereka punya media sendiri untuk mencairkan suasana. Mengapa kita yang perokok tidak mencari alternatif lain?

Mari mencoba walau itu berat.


_______
Maaf bila terlalu banyak kata rokok dalam postingan ini. Saya tidak berniat mengejar kata kunci rokok di search google.
Postingan ini begitu tak berbobot mungkin akibat efek merokok. Sejujurnya saya hanya ingin mengatakan bahwa akhir-akhr ini saya seperti kehabisan bahan tulisan. Makanya saya menulis tulisan tak jelas ini. Haha

0 komentar: