Selasa, 07 Januari 2014

Jokowi yang Lebay atau Media yang Lebay?

Standard
Beberapa hari lagi kita akan mengganti kalender. 2013 akan menjadi kenangan. Tak bisa lagi kita berada ditahun ini, baik mencicipi indah kisah maupun suram kisahnya. Ketika ingin menulis tanggal, tangan harus membiasakan mengganti angka 13 menjadi 14 setelah angka 20. Ini mungkin persoalan sepele, tapi maknanya adalah kebiasaan setahun jangan sampai terbawa-bawa ditahun berikutnya. Musti ada pembaharuan, musti ada penyesuaian.

Saya akan membincangi konsumsi dan penyajian media terhadap berita ditahun ini.

Tahun ini mungkin tak ada yang tak mengenal Jokowi. Baik karena prestasi maupun gerakan blusukannya. Sebenaranya, dibumi pertiwi ini sangat banyak pemimpin maupun tokoh yang berprestasi, bahkan banyak pula yang prestasi dan pencapaiannya melampaui Jokowi. Kita sebut saja misalkan Anies Baswedan yang diakui oleh dunia sebagai 100 Intelektual Dunia, 20 Orang Penting di 20 Tahun Mendatang, 500 Muslim Berpengaruh di Dunia tapi karena kurangnya sorotan dan pemberitaan media jadi kebanyakan hanya kalangan kampus dan menengah keatas saja yang mengetahuinya. 

Contoh kecil lagi bagaimana kurang adilnya sorotan media adalah ketika event Festival Keraton Nusantara VII pada 2012 di Sulawesi Tenggara. Di tahun 2012 saya sempat ke Buton hendak melihat Festival Kraton Nusantara. Dalam perayaannya, hampir seluruh Keraton se Nusantara ikut ambil bagian didalamnya. Saat malam setelah acara pembukaan usai, dikamar hotel saya menonton televisi hendak mencari pemberitaan tentang acara tersebut. Tapi yang ada hanyalah berita tentang kriminalitas maupun tayangan pembodohan dan sinetron lainnya. Sampai saya meninggalkan Buton, kembali ke Kendari hingga balik ke perantauan Kota Malang acara yang sangat berbobot tersebut masih kurang nampak di muka televisi maupun media nasional lainnya. Dan tentu saja, masyarakat Indonesia pun sangat banyak yang tidak mengetahui ada tidaknya Festival Keraton ditahun 2012.

Kejadian tersebut sangat bertolak belakang saat Festival Keraton Nusantara diadakan di daerah Jokowi mempimpin, DKI Jakarta. Saya tak perlu menjelaskan tumpang tindih tersebut. Silahkan Anda search di google maupun di youtube bagaimana sisa-sisa pemberitaan masih sangat terasa hingga kini. Hampir seluruh media nasional di Indonesia tak lupa menancapkan tintahnya di lembar absensi liputan tentang Festival Keraton Nusantara di DKI Jakarta. Apa Sulawesi Tenggara atau Buton itu bukanlah teritorial NKRI? Atau tanpa Jokowi maka acara sehebat apapun tak akan diberitakan?

***
Ayahanda, Ibunda serta seluruh big boss pemilik media tolong adil lah dalam mengindonesia. Di pelosok desa pulau jawa dan Indonesia timur sana masih begitu banyak yang bisa diberitakan. Beritakanlah kenyataan, keindahan dan kemirisan hidup disana. Minimal dengan berita tersebut masyarakat tau kalau ada hal-hal nyata di Bumi ini. Dengan keindahan masyarakat tau kalau dibalik gedung tinggi masih banyak keindahan alam tanpa campur tangan manusia yang bisa dikunjungi untuk menikmati ciptaan tuhan, dengan kemirisan orang-orang yang berhati mulia tau mau dikemanakan uangnya.

Semakin seringnya media nasional memberitakan perjalanan Jokowi sama halnya semakin sering pula media menghapus berita penting lainnya yang layak untuk dikonsumsi. Saya tak menyalahkan Jokowi, karena 'mungkin' Jokowi tidak pernah menyuap media agar beliau terus diberitakan. Tak dapat dipungkiri, media nasional hari ini tak mengenal waktu dan durasi dalam menyorot Gubernur DKI Jakarta. Jokowi mau bertingkah lebay sekalipun media akan terangsang untuk memberitakannya. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata 'Adillah Sejak Dalam Pikiran', semoga pikiran pemilik saham media besar di Indonesia ini sudah adil. Minimal meng'adil dalam pemikiran, walau dalam tingkah mereka pahit.

Malang, diakhir 2013

0 komentar: