Jumat, 10 Januari 2014

Standar moral di Turun Tangan Malang

Standard


Untuk mengukur kadar keimanan seseorang, tentunya tidak cukup menggunakan ilmu statistik maupun ilmu ilmiah lain yang lahir dari pemikiran manusia. Karena seilmiah apapun metodologi yang dipakai, manusia selalu mendapat celah dalam tiap disiplin ilmu yang ada. Katakanlah dalam melihat kadar keimanan kita menggunakan ilmu statistik. Ditiap-tiap tempat peribadatan diberi misalkan daftar absensi agar kemudian nantinya bisa di akumulasikan. Dengan metode tersebut manusia bisa saja berubah sesaat agar mendapat predikat beriman dengan cara rajin ke tempat peribadatan. Apakah dari asil akumulasi list kita bisa menilai mana yang betul-betul berniat suci dalam proses penghambaan dan mana yang datang sekadar absen atas nama pencitraan? akan ada perdebatan panjang menyoal itu. Sederhananya, keimanan seseorang bisa dilihat dari tingkah laku kesehariannya.

Sulit memang membincangi metode ilmiah mana yang cocok dalam mengukur keimanan. Dari keimanan muncullah moral. Baik tidak moral seseorang tidak bisa dinilai pribadi. Moralitas seseorang cenderung dinilai oleh orang lain atau masyarakat. Maka dari itu, seringkali standar moral di suatu tempat dan tempat lain akan berbeda. Di organisasi atau komunitas tertentu misalkan anggota dinilai bermoral ketika ia tak pernah absen dalam mengikuti kegiatan organisasi/komunitas walaupun datangnya terlambat dan lain-lain. Ada juga yang menilai moral anggota komunitas itu baik ketika ia rajin dalam memberi sumbangsih materi atau gagasan walau jarang hadir dalam kegiatan.
***

Turun Tangan Malang yang berorientasi pada gerakan sosilal, pendidikan, kebudayaan dan politik lahir pada 14 Desember 2013. Saat awal pembentukan anggota yang terlibat hanyalah 12 orang, lalu kemudian hingga hari ini mencapai pada 60 lebih anggota. Sebenarnya di Turun Tangan Malang banyak keanehan didalamnya. Misalkan orang hanya melihat di twitter/socmed lantas mau gabung, tapi secara keseluruhan anggota yang gabung karena kagum dengan gagasan dan sumbangsi Anies Baswedan pada bangsa ini. Yah! Andai tak ada manusia brilliant sekaliber Anies Baswedan mungkin saya dan teman-teman tidak akan pernah bertemu dan tak akan pernah berbuat untuk bangsa ini di umur semudah ini.

Walau komunitas Turun Tangan Malang masih seumur jagung, tetapi sudah ada standar moral yang terbangun dengan sendirinya. Misal saja, anggota diharamkan secara paksa mengajak anggota lain untuk bergabung., yang terpenting adalah apabila Anda tak dapat ontime ketika ada kegiatan, suka melanggar lalu lintas, tak pakai helm ketika berkendara, buang sampah sembarangan maka jangan sesekali gabung bersama kami Turun Tangan Malang. Boleh saja bergabung tetapi apabila anda tak bisa mematuhi aturan tersirat tersebut siap-siap saja anda memerahkan muka di tiap pertemuan. Karena intrik, ingatan selalu berjalan ditiap pertemuan. Itulah standar kami dalam menilai manusia itu bermoral apa tidak. Mungkin tidak pakai helm, melanggar lalu lintas, buang sampah sembarangan, datang tak ontime hanyalah masalah sepele bagi sebagian orang. Malah perilaku tersebut sudah di anggap kultur bangsa. Tapi kami memilih membunuh tradisi tersebut apabila sebagian besar organisasi/komunitas lain mentradisikan tradisi yang salah arah tersebut. Negara kecil seperti Jepang bisa maju karena kedisiplinannya. Apakah Indonesia tak ingin maju?

Ada satu lirik legenda musik Indonesia yang menggugah semangat pengarungan intelektual saya, Iwan Fals. Di lagu Manusia Setengah Dewa, Iwan Fals menyatakan "Masalah moral, masalah akhlak biar kami cari sendiri". Saya menemukan proses pencaharian tersebut di Turun Tangan Malang. Semua anggota bebas berekspresi: Gagasan dan tindakan nyata bagi kemajuan komnitas akan penuh dengan tepuk tangan, tetapi apabila anda 'terlambat' hadir di kegiatan maka buanglah impian untuk memajukan bangsa ini. Akan sulit bangsa ini maju ketika yang ingin memajukan juga masih bermasalah.

0 komentar: