Bisa di katakan, 2013 dan 2014 ialah tahun terbonafitnya pelaku usaha percetakan; baliho, stiker dan lain lain. Kemegahan baliho bermunculan di hampir tiap pinggir jalan se-Indonesia. Baliho dari instansi pemerintah, perusahaan dan swasta sejenak terbendung dengan baliho caleg dan partai yang meminta diri agar dilirik oleh seluruh lapisan masyarakat.
Alhasil, Indonesia yang belum sejahtera ini, menjadi busuk dengan kehadiran baliho caleg dan partai yang membusuk akibat terik matahari. Ini bukan karena meningkatnya perilaku ‘narsisme’ pada masyakat indonesia, tetapi ini petanda bahwa sebentar lagi kita akan di beri harapan baru, menikmati, dikibuli bahkan di hipnotis oleh 'party' demokrasi. Semoga kita tidak mabuk akibat 'party' ini.
Baliho Tak Bisa Berbicara
Rupanya, perilaku mematungkan muka dengan baliho menjadi kesepakatan bersama atas nama efektifitas siosialisasi diri. Selain TV yang terlalu mahal, seakan belum ada hal lain yang mampu menandingi media ini. Walaupun kemajuan teknologi telah menawarkan beberapa media gratis yang sedikit memiliki nafas dan mampu bergerak untuk mensosialisasikan para caleg.
Sebagian caleg menganggap, mengetuk pintu rumah konstituen lalu kemudian memaparkan visi misi telah menjadi langkah kedua setelah pemajangan baliho. Langkah tersebut 'benar' ketika sang caleg adalah pendatang baru atau belum populer di masyarakat. Tapi, ada sisi lain yang di nafikkan. Baliho adalah barang yang tidak bisa bergerak dan juga bicara langsung pada konstituen. Sebagian Caleg terkadang kelewatan batas dalam membaliho; ada yang memajang di pohon, di pinggir jalan dengan dsain amburadul dan lain-lain. Yang terjadi adalah jalanan menjadi tak sedap di pandang mata. Dan kita layak berdoa, semoga pengguna jalan tak ada yang kecelakaan akibat melirik baliho caleg lalu menabrak sesuatu di depannya.
Tapi, perubahan undang-undang KPU Pasal 17 ayat (1) dan ayat (4) menghentikan kita pada perdebatan baliho politik. Karena pengubahan pasal tersebut berbunyi:
1. baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD.
4. spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD
dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 m hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah
yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama
Pemerintah Daerah.
Walaupun masih banyak caleg yang nakal dan melanggar, tetapi KPU bekerjasama dengan satpol PP sudah mulai menurunkan beberapa baliho di setiap daerah. Walaupun lamban, kita musti apresiasi usaha tersebut, dan kepercayaan harus di berikan. Karena siapa lagi yang di gaji oleh rakyat untuk mengurusi hal tersebut. Masyarakat sebenarnya bisa saja membantu upaya tersebut, tetapi siapa yang mau ambil resiko jikalau si caleg tau warga yang menurunkannya. Bisa-bisa bodyguard caleg akan mendatangi si warga yang menurunkan.
Jaga Estetika Jalanan
Melihat fenomena ini, bagi saya membalihokan muka dipinggir jalan masih relevan untuk mengenalkan diri, tetapi dalam kacamata ekonomi, fenomena tersebut tidak sangat bersifat ekonomis.
Pinggir jalan memang tempat yang paling dekat dengan masyarakat. Tetapi dalam menebar muka pada khalayak, harusnya tetap menjaga nilai-nilai etika, estetika dan moral. Bagaimana mungkin masyarakat mau simpatik, jika calon tidak bisa menjaga estetika Kota-Desa atau tidak bisa mengontrol tim nya yang tidak kenal tempat untuk menempel stiker maupun baliho; tidak di tiang listrik, tidak di pohon semua berserakan muka caleg.
Para caleg sudah semestinya juga melirik sosial media, karena selain tidak semua konstituen tiap hari keluar dijalan, zaman juga sudah berkembang. Caleg harus melihat life style masyarakat yang tidak hanya melek di jalanan, tapi juga melek sosmed, utamanya di perkotaan. Jadi bayangkan kalau caleg memanfaatkan konstituen yang melek sosmed, selain bisa langsung berkomunikasi (walaupun tanpa tatap muka langsung), juga bisa menyampaikan visi-misi secara langsung. Bonus dari kampanye sosial media adalah bisa melihat secara langsung opini atau tanggapan yang berkembang di masyarakat.
Kampanye Gratis Lewat Sosial Media
Dalam sosial media, ada beberapa website yang sangat populer dan efektif untuk di jadikan media kampanye, seperti Twitter, Facebook, Blogger, Wordpress dan Youtube. Manfaat dari sosial media bagi politikus adalah bisa berinteksi dan menuangkan pemikiran sebebas-bebasnya, dengan catatan tidak melanggar undang-uandang Informasi dan Transaksi Elektronik ayat 3. Pembeda dari empat website ini adalah Twitter memiliki batasan 140 teks, Facebook 63.025 teks, Youtube adalah media yang khusus menampung video dengan kapasitas maksimal sekitar 2 GB, Blogger dan Wordpress bisa di jadikan sumber info dari segala sosial media yang ada. Karena dalam blog tak ada batasan teks dan dalam blog juga bisa menampung video, baik video dari youtube maupun di upload sendiri.
Dalam mengelola sosial media di butuhkan keterampilan yang cukup agar mampu menarik perhatian masyarakat. Poin pentingnya adalah selain dapat di jadikan sebagai alat ukur untuk mengetahui pendapat, tanggapan dan opini yang berkembang, secara ekonomis politikus dapat merampingkan pengeluarannya. Silahkan bandingkan dengan biaya Baliho; 1 Baliho ukuran 3 kali 3 misalkan mampu menghasilkan 1 blog (.com, .co.id dll) berdomain yang nampak profesional dan konsumsi pengelola sosmed. Ngomong efektifitas, kreatifitas yang akan menjawabnya.
Sosmed merupakan media gratisan. Sudah banyak Tokoh Politik yang memanfaatkan media ini sebagai wadah kampanye. Kita kenal bagaimana gerakan sosmed Barrack Obama dalam memenangkan pilpres 2 priode di Amerika, bahkan Obama juga mendapatkan dana dari masyarakat lewat sosmed, walaupun kecil. Sebagian Tokoh Indonesia juga demikian, seperti Made Mangku Pastika (Bali), Ridwan Kamil (Bandung), Joko Widodo (Jakarta), Ganjar Pramono (JABAR), Indra Jaya Piliang (Pariaman) dan banyak tokoh lainnya. Belakangan, Presiden Indonesia juga aktif di sosmed. Bagaimana dengan Caleg? Sebagian caleg sudah memanfaatkannya, tetapi hanya sedikit, utamanya caleg-caleg di Kabupaten dan Kota.
Dalam teori tahapan pemasaran mengatakan, ada beberapa tipe konsumen; Calon Konsumen, Konsumen, Langganan, dan Pelanggan Advokat. Mari kita konstekstualisasikan dalam ranah differensisasi sosmed politikus.
Apabila politikus mampu mengelola sosial media secara kreatif dan fenomenal, maka daya tarik dan informasi yang cukup lewat sosial dengan sendirinya bisa mengahasilkan advokat ulung bagi sang politikus. Baik ketika caleg di terjang black campaign hingga Pelanggan (konstituen) Advokat akan menjadi penyambung lidah bagi masyarakat yang tidak kenal sosmed.
***
Secara pribadi, saya sangat terganggu dengan adu layang baliho. Mending adu layang di media sosial. Sosisal media telah menawarkan wadah untuk mengeksplor segala informasi pada diri politikus. Adakah yang kecewa atas perubahan undang-undang KPU? Bagi saya tidak! Malah senang. Karena calon pemimpin bangsa akan di uji bagaimana kreatifitasnya dalam memperkenalkan diri, menyampaikan visi misi dan mengajak konstituen memilihnya. Semoga yang layak yang menang.
__________
*Tulisan ini di tulis sekitar 2 bulan kemarin. Ada perubahan sedikit, karena menyesuaikan dengan perubahan undang-undang KPU.
Jaga Estetika Jalanan
Melihat fenomena ini, bagi saya membalihokan muka dipinggir jalan masih relevan untuk mengenalkan diri, tetapi dalam kacamata ekonomi, fenomena tersebut tidak sangat bersifat ekonomis.
Pinggir jalan memang tempat yang paling dekat dengan masyarakat. Tetapi dalam menebar muka pada khalayak, harusnya tetap menjaga nilai-nilai etika, estetika dan moral. Bagaimana mungkin masyarakat mau simpatik, jika calon tidak bisa menjaga estetika Kota-Desa atau tidak bisa mengontrol tim nya yang tidak kenal tempat untuk menempel stiker maupun baliho; tidak di tiang listrik, tidak di pohon semua berserakan muka caleg.
Para caleg sudah semestinya juga melirik sosial media, karena selain tidak semua konstituen tiap hari keluar dijalan, zaman juga sudah berkembang. Caleg harus melihat life style masyarakat yang tidak hanya melek di jalanan, tapi juga melek sosmed, utamanya di perkotaan. Jadi bayangkan kalau caleg memanfaatkan konstituen yang melek sosmed, selain bisa langsung berkomunikasi (walaupun tanpa tatap muka langsung), juga bisa menyampaikan visi-misi secara langsung. Bonus dari kampanye sosial media adalah bisa melihat secara langsung opini atau tanggapan yang berkembang di masyarakat.
Kampanye Gratis Lewat Sosial Media
Dalam sosial media, ada beberapa website yang sangat populer dan efektif untuk di jadikan media kampanye, seperti Twitter, Facebook, Blogger, Wordpress dan Youtube. Manfaat dari sosial media bagi politikus adalah bisa berinteksi dan menuangkan pemikiran sebebas-bebasnya, dengan catatan tidak melanggar undang-uandang Informasi dan Transaksi Elektronik ayat 3. Pembeda dari empat website ini adalah Twitter memiliki batasan 140 teks, Facebook 63.025 teks, Youtube adalah media yang khusus menampung video dengan kapasitas maksimal sekitar 2 GB, Blogger dan Wordpress bisa di jadikan sumber info dari segala sosial media yang ada. Karena dalam blog tak ada batasan teks dan dalam blog juga bisa menampung video, baik video dari youtube maupun di upload sendiri.
Dalam mengelola sosial media di butuhkan keterampilan yang cukup agar mampu menarik perhatian masyarakat. Poin pentingnya adalah selain dapat di jadikan sebagai alat ukur untuk mengetahui pendapat, tanggapan dan opini yang berkembang, secara ekonomis politikus dapat merampingkan pengeluarannya. Silahkan bandingkan dengan biaya Baliho; 1 Baliho ukuran 3 kali 3 misalkan mampu menghasilkan 1 blog (.com, .co.id dll) berdomain yang nampak profesional dan konsumsi pengelola sosmed. Ngomong efektifitas, kreatifitas yang akan menjawabnya.
Sosmed merupakan media gratisan. Sudah banyak Tokoh Politik yang memanfaatkan media ini sebagai wadah kampanye. Kita kenal bagaimana gerakan sosmed Barrack Obama dalam memenangkan pilpres 2 priode di Amerika, bahkan Obama juga mendapatkan dana dari masyarakat lewat sosmed, walaupun kecil. Sebagian Tokoh Indonesia juga demikian, seperti Made Mangku Pastika (Bali), Ridwan Kamil (Bandung), Joko Widodo (Jakarta), Ganjar Pramono (JABAR), Indra Jaya Piliang (Pariaman) dan banyak tokoh lainnya. Belakangan, Presiden Indonesia juga aktif di sosmed. Bagaimana dengan Caleg? Sebagian caleg sudah memanfaatkannya, tetapi hanya sedikit, utamanya caleg-caleg di Kabupaten dan Kota.
Dalam teori tahapan pemasaran mengatakan, ada beberapa tipe konsumen; Calon Konsumen, Konsumen, Langganan, dan Pelanggan Advokat. Mari kita konstekstualisasikan dalam ranah differensisasi sosmed politikus.
Apabila politikus mampu mengelola sosial media secara kreatif dan fenomenal, maka daya tarik dan informasi yang cukup lewat sosial dengan sendirinya bisa mengahasilkan advokat ulung bagi sang politikus. Baik ketika caleg di terjang black campaign hingga Pelanggan (konstituen) Advokat akan menjadi penyambung lidah bagi masyarakat yang tidak kenal sosmed.
***
Secara pribadi, saya sangat terganggu dengan adu layang baliho. Mending adu layang di media sosial. Sosisal media telah menawarkan wadah untuk mengeksplor segala informasi pada diri politikus. Adakah yang kecewa atas perubahan undang-undang KPU? Bagi saya tidak! Malah senang. Karena calon pemimpin bangsa akan di uji bagaimana kreatifitasnya dalam memperkenalkan diri, menyampaikan visi misi dan mengajak konstituen memilihnya. Semoga yang layak yang menang.
__________
*Tulisan ini di tulis sekitar 2 bulan kemarin. Ada perubahan sedikit, karena menyesuaikan dengan perubahan undang-undang KPU.
0 komentar:
Posting Komentar