"Orang kreatif adalah pencipta, karena ia juga turut mencipta, maka kemungkinan ada unsur-unsur ketuhanan dalam tubuh orang kreatif."
sultranesia.com (Doc. Riqar Manaba) |
Merk atau brand, adalah salah satu hal yang sangat vital ketika berbicara tentang sebuah perusahaan, lembaga maupun produk. Karena hal tersebutlah yang paling fundamental untuk menciptakan differensiasi. Merk atau brand, acapkali dipilih berdasarkan pemaknaan identitas dan visi misi dari perusahaan, lembaga dan produk.
Proses penamaan suatu merk atau brand di ambil, ibarat orang tua yang menamai anaknya. Dalam menamai anak, orang tua tentu akan menamai anaknya dengan nama terbaik; sesuai dengan doa dan keinginan agar kelak anak tersebut akan tumbuh besar dengan baik. Orang tua akan melakukan perenungan panjang sebelum kemudian menentukan sebuah nama. Saking pentignya nama, bahkan ada beberapa bayi yang lahir tanpa nama, dan dinamai setelah ditemukan nama yang tepat untuknya.
Dalam konteks penamaan pada anak, dalam tradisi Muslim Bugis-Makassar ada tradisi yang bernama barasanji. Barasanji adalah sebuah tradisi mengundang sanak keluarga dan kerabat untuk turut mendoakan anak yang baru lahir; agar anak tersebut tumbuh kembang dan berprilaku baik. Setelah berdoa dan membaca beberapa surat-surat dalam kitab Al-Qur'an (dibarengi dengan acara makan-makan), acara tersebut dilanjut dengan pemotongan rambut pada anak tersebut.
Belakangan, melalui situs nu.or.id saya mendapat informasi cikal bakal dari barasanji ternyata diambil dari nama Syekh Ja’far a;-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim yang lahir di Madinah tahun 1690. Barasanji atau Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tersebut sebenarnya berjudul Iqd al-Jawahir (kalung pertama) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabu Muhammad SAW.
Karena terkadang dalam rangkaian tradisi barasanji orang tua mengundang keluarga besar dan banyak kerabat (sembari makan-makan), maka tak jarang keluarga yang melaksanakan hajatan ini akan melakukan pemotongan kambing atau sapi sebagai menu sajian makan. Maka jika Anda mendengar istilah di tanah Sulawesi seperti ini: “Kepala anak itu mahal, karena waktu barasanji orang tuanya memotong empat ekor sapi” jangan kaget. Karena memang tak sedikit orang tua yang rela membuat barasanji bak pagelaran pesta publik.
Tradisi lanjutan soal penamaan nama di tanah celebes, jika ada seorang anak yang tingkah lakunya tidak sesuai dengan nama yang diberikan, maka nama anak tersebut akan diganti. Ada orang tua yang kembali melakukan tradisi barasanji, namun ada juga yang melakukan penggantian nama dengan cara sederhana.
Betapa nama sangat berharga bukan? apalagi buat kami yang berasal dari suku Bugis-Makassar (walaupun saya juga bersuku Tolaki).
***
Ngomong-ngomong soal ritual penamaan, saya ada sedikit cerita yang berhubungan dengan hal di atas. Begini ceritanya:
Sekitar jam tiga pagi (4/11/2015) di tengah sunyi, kabut asap, dan gelap gulitanya Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saya asik berslancar di jagat maya. Saya mencari informasi yang sekiranya penting untuk memenuhi gizi pengetahuan. Selesai membaca salah satu artikel tentang bagaimana membangun sebuah media yang kredibel, saya lalu membuka sosial media instagram dan mengecek hastag #sultranesia. Sultranesia adalah sebuah media online indie yang saya bangun dan garap serius bersama rekan-rekan pelaku Industri Kreatif. Tujuannya adalah sebagai jalan alternatif bagi pegiat Industri Kreatif untuk mendapatkan ruang publikasi karya maupun pemberitaan event.
Hastag #sultranesia telah tertekan dari jari jemariku yang ceking. Tiba-tiba, saya sedikit terdiam melihat salah satu postingan dengan hastag tersebut. Ampas kopi hitam yang menemani pagiku seakan naik ke dalam urat-urat otak.
Ini dia postingannya:
Undangan VVIP INVITATION dengan Tajuk SULTRANESIA FESTIVAL 2015. Pengunggah dengan hastag #sultranesia berasal dari akun : instagram.com/devitapalenewen |
Perasaan, kalender event Media Sultranesia tahun ini kosong. Kami tak ada rencana untuk menggelar event offline. Melihat postingan di atas saya langsung menggelontarkan banyak pertanyaan: Siapa yang membuat event bertajuk SULTRANESIA FESTIVAL 2015 itu? Dari postingan tersebut, event itu merupakan event fashion yang dilaksanakan di salah hotel megah di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Apa si event organizer itu tidak tau bahwa SULTRANESIA itu adalah brand dari media indie kami yang sudah berumur 3 tahun?
Pertanyaan demi pertanyaan terus saya gelontarkan dalam kesepian pagi buta. Kenapa menggunakan nama SULTRANESIA?, Kenapa kami tak tau event ini?, Bukankah hampir semua event di Sulawesi Tenggara pasti kami ketahui karena pihak pelaksana acara biasa memention akun twitter @sultranesia untuk dibantu menyebar luaskan informasinya?, Atau jangan-jangan tajuk tersebut diambil berdasarkan orisinalitas ide dari si pihak pelaksana? Karena ada kemungkinan orang bisa memikirkan dua hal yang sama di dalam satu atau daerah yang berbeda.
Setelah menghabiskan beberapa pertanyaan, saya langsung kroscek informasi tersebut. Seluruh tim Sultranesia saya tanya satu persatu. Karena tidak menemukan jawaban, saya lantas menanyakan kepada teman-teman pelaku Industri Kreatif di Kota Kendari. Akhirnya saya menemukan informasi tersebut, walau informasinya terbatas dan saya tak mendapatkan kontak person untuk menghubungi CEO EOnya. Pelaksana acara itu adalah EO yang memang asing bagi kami yang terbiasa buat event di Sulawesi Tenggara. Namanya Impremium Mice Manajemen, dan nama pemilik dari EO tersebut (yang lagi-lagi asing) adalah Om Reza yang kemungkinan berasal dari Kota Makassar. Informasi lanjutan yang saya dapatkan, ternyata event ini tak mendapat izin dari Pemerintah Sulawesi Tenggara. Karena Pemprov berencana akan mengadakan event serupa bertajuk Fashion Week. Pemprov merasa didahului oleh EO asing yang sepertinya memiliki modal besar ini.
Selain dari rasa curiga, kami dari pihak Sultranesia Media tidak menuduh dan menuntut apa-apa dari kejadian ini. Toh juga brand SULTRANESIA masih dalam proses untuk kami daftarkan di Lembaga HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).
Tapi jika tema event tersebut secara sadar di ambil dari brand kami tanpa izin, saya tentunya sangat menyangkannya. Pegiat Industri Kreatif harusnya sadar sejak dalam pikiran. Karena hakikat kreatif berasal dari kata creat yang berarti cipta. Orang kreatif pasti menciptakan sesuatu yang memiliki unsur kebaharuan, fungsi sosial, dan inovasi di dalamnya. Bukan kreatif namanya jika menciplak brand. Bahkan, saya pernah membuat pernyataan lebay: orang kreatif adalah pencipta, karena ia juga turut mencipta, maka kemungkinan ada unsur-unsur ketuhanan dalam tubuh orang kreatif.
Sebagai Founder-CEO Media Sultranesia, karena ada unsur kenamaan dari brand media kami dalam event tersebut, secara resmi saya menyampaikan semoga event itu berjalan baik serta tidak menciptakan kerusuhan yang bisa merugikan pihak kami. Jujur saja, penamaan tajuk event itu juga sebenarnya menguntungkan secara branding bagi kami, jika event tersebut positif dan mengedukasi. Jika saja pihak EO tersebut secara sengaja mengutip brand kami sebagai tema event, harusnya pihak tersebut bilang. Pasti kami izinkan. Bahkan kami siap menjadi mitra dari pelaksanaan event tersebut, sebagaimana kami sering menjadi media partner dalam beberapa event. Dan kepada Pemprov Sultra yang tidak mengeluarkan izin pada perhelatan ini, semoga tidak ada perkiraan bahwa event tersebut ada unsur Media Sultranesia didalamnya. Sekali lagi saya sampaikan kami tak terlibat sama sekali dalam perhelatan tersebut.
Kami merasa baru anak bayi yang berumur tiga tahun. Dan sebagai media indie, kami masih terus belajar tentang banyak hal. Utamanya tentang bagaimana menghargai proses kreatif dan orisinalitas karya seseorang.
Kami merasa baru anak bayi yang berumur tiga tahun. Dan sebagai media indie, kami masih terus belajar tentang banyak hal. Utamanya tentang bagaimana menghargai proses kreatif dan orisinalitas karya seseorang.
Keep Kalem… Karena yang benar akan membuktikan kebenarannya sendiri :)
_____________
0 komentar:
Posting Komentar