Minggu, 07 Juli 2013

Ramadhan Ter-Politis

Standard
Sumber gambar: www.azan.se
Oleh : Moh. Riqar Yanto Manaba

Bagi seluruh umat islam di dunia, Ramadhan adalah satu bulan spesial diantara 11 bulan yang lain dalam setahun. Karena pada bulan inilah seluruh Ummat Islam mendapatkan kesempatan untuk menunaikan rukun islam yang ke 5. Kewajiban Ummat Islam untuk menunaikannya.

Ramadhan juga merupakan ‘Fursah Lit Taghyir’ yaitu peluang untuk melakukan kebaharuan diri kembali ke khittah. Dalam bulan ini, ummat muslim juga berlomba-lomba mengejar ‘kesunnahan’ baik itu sholat tarawih, memperingati turunnya kitab suci Al-Qur’an, memetik Laylatul Qadar, dan memfiniskan ‘kesunnahan’ istimewa tersebut lewat pembayaran zakat fitrah dan Idul Fitri (hari kemenangan).

Menuju 2014
Kalau Ummat Islam diberikan pada Allah S.W.T bulan yang sangat fenomenal, tentunya, founding father yang melahirkan demokrasi juga tak mau kalah dengan tuhan. Para Founding Father yang menciptakan dan menga’amini’-‘imani’ demokrasi seakan menyandingi dirinya dengan tuhan. Dari demokrasi terjadi Pemilihan Umum (PEMILU) yang bebas, umum, adil, rahasia untuk menentukan siapa pemimpin daerah dan negara. Yah, PEMILU juga mendapatkan satu bulan khusus diantara 12 bulan dalam 1 tahun. Saya menyebutnya bulan ‘sok suci’ Party Demokrasi yang terhitung setahun lagi kiranya akan terhelat.

Para calon yang akan berkompetisi, baik itu di PILEG dan PILPRES, dipastikan akan melakukan kampanye untuk mempromosikan diri dan visinya agar dipilih oleh semua lapisan masyarakat. Tentunya semua calon sebelum bertandang ke konstituen terlebih dahulu menganalisa pada moment mana saja mereka bisa mengetuk pintu untuk bersosialisasi pada konstituen.

Ramadhan kali ini kemungkinan akan menjadi ramadhan terpolitis. Mengapa demikian? karena pada moment inilah (terkhusus buat ummat islam) mau tidak mau menerima siapapun yang akan bertandang kerumahnya dan kadang bagi ummat muslim yang ‘awam’ tak bisa membedakan mana ranah silaturahmi yang betul-betul untuk menjaga ikatan emosional dan mana ranah silaturahmi yang dilatar belakangi oleh kepentingan belaka. Apalagi ramadhan juga sedikit identik istilah THR yang sekarang memiliki banyak arti.
***
Mari Mengambil Hikmah
Sekitar 5 tahun lalu, sewaktu kualitas otak saya bak bokong bayi yang masih biru. Saya sempat mendapatkan dan mendengar langsung dari luar mesjid, mesjid dikampung halaman Kota Kendari. Ada seorang caleg dari partai yang ‘mengaku islam’ pernah memanfaatkan mesjid tersebut sebagai panggung berkampanye. Tepatnya kurang lebih sekitar dua harian pasca Idul Fitri. Saya tak paham itu terjadi karena remaja/pengurus mesjid kecolongan ataukah orang dalam yang sengaja menjual mesjid sebagai panggung kampanye.

Si Caleg tersebut datang ke forum diskusi islamiah mesjid yang memang intens dilakukan pada kamis atau jum’at malam. Warga yang datang pada waktu itu lumayan banyak. Sekitar 40an mungkin lebih. Setelah beberapa kata sambutan dan mengutip Qur'an ia lantas memperkenalkan namanya dan katanya mau nyaleg di dapil kelurahan dimana mesjid itu berada. Tidak hanya itu saja. Beliau yang terlalu halus saya sebut beliau, didalam mesjid juga mengeluarkan nada himbauan pada jamaah dan warga sekitar untuk memilih dia karena katanya dia bla la bla.

Mendengar kejadian itu, saya yang diluar mesjid sedang nongkrong bersama kerabat memang merasakan kecangguhan. Tapi mengerti apa saya tentang islam? Mengerti apa saya tentang politik? Yah, mengabai. Itulah yang saya lakukan. Setelah merefleksikan cuplikan beberapa tahun kemarin saya lantas memunculkan pertanyaan hari ini. Mengapa semua pengurus mesjid, warga sekitar dan anak lorong yang saya temani di depan mesjid hanya terdiam saja?. Pada waktu itu memang ada diantara dekat saya yang sedikit mengeluarkan kata ‘hina’ yang diterakan pada orang yang sedang berbicara didalam mesjid tapi tindakannya sama pula seperti saya. Mengabai!. Apakah tokoh masyarkat pada saat itu terlelap dirumahnya? Atau jangan-jangan ada sebagian yang berada didalam mesjid?. Tak paham saya. Saya sedikit berkesimpulan pada waktu itu petanda bahwa dilingkungan saya, teman-teman, remaja mesjid dan senior masih tertinggal dalam pengetahuan agama dan politik.

***
Jaga Iman, Jaga Pembeli Iman
Menyambut bulan suci ini, sekiranya kita jangan lihai pada saat menjalani puasa. Apalagi ramadhan merupakan ‘Syahrul Jihad’. Kemungkinan besar akan banyak caleg dan capres yang mengadakan buka puasa bersama, bertandang kerumah, mesjid dan biasanya membagikan ampau, sembako dan lain-lain. Ini pasti akan terjadi! tetapi karena saya masih hijau jadi saya tak paham, apakah pemberian tersebut haram atau tidak dalam agama. Itu ranahnya pak ustadz, kyai, alim ulama untuk menjelaskannya. Karena ujungnya si 'pemberi' meminta pembalasan atau imbalan dikemudian hari atas apa yang diberinya –PILIH SAYA-. Pembaca mungkin lebih cerdas dan mohon beritahu saya itu haram apa halal.

Mari kita jadikan mesjid sebagai tempat peribadatan, diskusi, tempat menuntut ilmu agama, dan juga mengembalikannya sebagai pusat silaturahmi tanpa ada kepentingan dibelakangnya. Para caleg janganlah sampai menjadi ‘saiton’ di Ramadhan-Idul Fitri kali ini. Untuk segala lapisan masyarakat jangan salah kaprah tentang makna puasa. Jangan karena sedang berpuasa lantas ketika mendengar dan melihat caleg memanfaatkan mesjid atau mushollah sebagai tempat kampanye atau melakukan nepotisme lantas terdiam dan termangu. Malah ketika diam atau bahkan meng’imani’ perbuatan tersebut kata ustadz di Televisi itu Dosa!

Para caleg/politikus silahkan mainkan kreatifitas untuk meyakini konstituen. Jangan sampai ‘Menghamili’ puasa dengan melakukan ‘perangsangan’ di mesjid untuk ‘mengklimakskan’ hasrat politik. Jangan sampai dengan tindakan tersebut anda malah mengalami ‘ejakulasi politik’.

Saya bukannya anti politik, malah saya senang dengan ilmu politik. Sampai saat ini saya masih sedikit memahami bahwa Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Atas nama pengabdian, atas nama pembangunan dan lain-lain. Politik itu ilmu yang dapat merangsang nalar kreatif. Tidak Haram!

Ini hanya pengingatan diri, penyampaian belenggu dan juga membuka kecatatan atas apa yang pernah saya lihat. Saya hanya meng’impi’kan dengan kekebalan iman dan pengetahuan masyarakat, para caleg dikemudian hari akan berkata; ‘Bila zakatku tak mampu membeli suaramu, dengan cara apalagi kau harus memilih saya? Kau minta apa?. Dan kita menjawab; kami hanya melihat track record, sosok, visi, dan se’edukatif apa kau berkampanye.

0 komentar: